26. Tragedi

82 11 0
                                    


Votes terlebih dahulu supaya berkah.

Seperti hari-hari biasa yang lalu. Hari ini Rere berdiri sendiri menunggu angkutan umum yang lewat di depan sekolahnya. Riri lagi-lagi ada kerja kelompok dengan temannya. Dan Abra? Katanya tidak bisa menjemput karna ada hal mendesak yang membuatnya harus segera turun tangan.

Entahlah. Rere sudah terbiasa dengan kesibukan mereka.

Saat ini ia hanya ingin cepat-cepat sampai di rumah dan mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Sambil menonton drama Korea tanpa diganggu siapa pun.

Rere juga sudah membeli beberapa snack makanan di Alfamart dekat sekolahnya. Untuk bahan cemilan saat dirinya asyik menonton nanti. Satu kresek penuh terisi membuat Rere menelan ludah ingin segera menghabiskannya.

Mata Rere menangkap banyak orang yang sedang berlari-larian menghindari sesuatu. Rere terlonjak kaget saat terdengar teriakan histeris arah berlawanan.

"Ada apa?" tanya Rere pada seorang cewek dengan seragam bukan sekolahnya. Sepertinya sekolah sebelah.

"I--itu..."

"Itu...," jawabnya yang masih ngos-ngosan.

"Ada apa?" tanya Rere kebingungan.

"Ada tawuran!" Jantung Rere seakan mau copot mendengar kata 'tawuran'. Dari kecil sampai sekarang ia belum pernah melihat tawuran secara live. Dan ini? Ada tawuran? Rere harus bagaimana.

Cepat-cepat ia masuk kembali ke sekolahnya. Berlari sejauh mungkin menghindari murid laki-laki yang sibuk berkelahi dengan musuhnya. Suara sahut-sahutan tiap-tiap motor terdengar di telinga Rere sampai membuatnya merinding ketakutan.

"Abang...,"

Rere merogoh kantongnya dan segera mengambil benda pipih tersebut. Mencari nama kontak yang akan dihubunginya.

"Abang angkat!" sedu Rere yang mulai menangis melihat panggilan tidak aktif dari nomer Abra.

Sekolahnya sudah sangat sepi. Dia juga tidak tahu kenapa hari ini ekskul di sekolahnya kebetulan tidak ada. Membuat bulu kuduk Rere berdiri berada di suasana mencekam seperti ini.

Suara kayu yang dipukulkan. Pisau yang saling beradu dan rantai yang memecut aspal menjadi suara paling menakutkan untuk Rere saat ini.

Ia hanya mengingat satu nama... Allah.

Sekarang ia sendirian, hanya Allah yang dapat melindunginya.

Rere terus merapalkan doa sembari melihat keadaan yang masih sangat ramai dipenuhi amukan dan teriakan para warga sekitar yang mencoba melerai.

Saat Rere memejamkan matanya ada tangan yang menempel di pundaknya. Seketika napasnya berhenti. Hati-hati ia membuka mata dan terus komat-kamit sembari berdoa agar ini bukan akhir dari dirinya.

"Ngapain disini?"

Rere menyipitkan matanya melihat laki-laki bertubuh jangkung berjongkok di hadapannya. Wajahnya penuh goresan luka dan darah yang mengalir. Tangannya pun hampir semua lecet. Rere semakin menajamkan penglihatannya ketika sadar siapa orang yang saat ini di depannya.

"K--Kak..."

"Ngapain?" tanyanya lagi sesekali melirik ke arah tawuran yang masih berlangsung.

"Ayo ikut gue."

"Gak mau!" tolak Rere ketakutan. Rere menelungkupkan wajahnya di kedua lututnya. Kenapa harus orang ini yang datang. Kenapa tidak Abangnya atau... Ibnu? Ah, memikirkannya saja mustahil.

AREYNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang