45. Kotak Makan

61 7 0
                                    


Votes terlebih dahulu supaya berkah.

****

Ketiga gadis berpakaian olahraga itu sedang selonjoran di bawah pohon. Pelajaran olahraga baru saja usai dan mereka memutuskan untuk beristirahat sebentar sambil menunggu tes berikutnya.

"Nanti jangan lupa ke rumah Jimmy."

Nana menoleh cepat ke arah Yasmin. "Ngapain?"

Yasmin menepuk jidatnya sendiri lalu nyengir kuda. "Gue lupa bilang lo ya."

"Nanti anak-anak ngumpul di rumah Jimmy." Lanjutnya.

Nana mengangguk paham dan mengalihkan pandangannya ke temannya yang sedang di tes basket oleh Pak Ahmad.

"Re, lo dateng kan?" tanya Yasmin menatap berbinar.

"Nggak tahu." Jawabnya tanpa selera.

Yasmin berdecak kecil. "Gue jemput deh. Yayaya?"

"Emang lo nggak inget Ibnu sendiri yang nyuruh lo?" lanjutnya sedikit keras sampai Nana membalikkan tubuhnya lagi.

"Ibnu apa?" Nana mendekat dan menatap serius Yasmin. Seolah meminta penjelasan dari ucapannya barusan.

Rere menghembuskan napas gusar. Tak berminat menyahut apapun.

"Ibnu nyuruh Rere dateng."

"Ibnu sendiri?" kagetnya sampai matanya membola.

Yasmin mengangguk sambil melirik sekilas ke arah Rere yang sedang bercengkrama dengan Hikam.

"Dih kok tumben."

"Nah makanya itu, Rere nggak percaya."

"Tapi gue percaya-percaya aja sih. Hati siapa yang tahu, ya kan?" ujar Nana memberikan pendapat lain.

Yasmin menyatukan jari telunjuk dan jempolnya bersuara tanda setuju. "Bener Na, bener banget."

Nana manggut-manggut lalu menarik lengan Rere pelan. "Heh."

Rere menoleh malas. "Hmm?"

"Nanti gue jemput deh."

Rere berdecak keras. "Ribet banget sih lo berdua."

"Gak usah jemput!"

Rere berdiri dari duduknya lalu pergi meninggalkan lapangan tanpa memperdulikan Pak Ahmad yang menatapnya nyalang.

"Gue salah omong ya?" tanya Nana pada diri sendiri.

Hikam yang tak tahu apa-apa hanya mengedikkan bahu acuh.

"Udah biarin aja. Dia tuh sebenernya salting." Kekeh Yasmin menanggapi itu biasa.

Nana mengerjapkan matanya pelan. Masih terbeban karna Rere yang tiba-tiba kesal begitu saja.


"Nyebelin banget sih," lirihnya berjalan lurus menuju toilet.

Rere menempelkan punggungnya pada dinding toilet. Jantungnya berdegup sangat kencang. Pasti ini akibat kedua sahabatnya yang selalu menyinggung Ibnu. Sebesar itu dampak pada jantungnya.

Saku celana Rere bergetar. Merogohnya cepat. Saking gugupnya ia memencet sembarang tanpa melihat siapa orang yang menelepon.

"Halo?"

"..."

"Halo?"

"Kok diangkat?"

Rere kaget luar biasa. Matanya melebar saat sadar siapa orang yang sedang menghubunginya. Ia menampari ponselnya berkali-kali karna merasa ceroboh.

AREYNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang