32. Kehilangan

90 10 0
                                    


Votes terlebih dahulu supaya berkah.


Sudah siap baca 3000 word lebih?

Setiap yang bernyawa pasti akan mati. Begitupun orang yang kita sayang. Walaupun kita menolak semesta mengambilnya, yang namanya takdir mustahil ditata kembali.

- Author -


****

Abra berlarian menyusuri lorong rumah sakit mencari ruangan yang tadi disebutkan oleh resepsionis yang ada di lobi utama. Napasnya tersengal-sengal kesusahan mencari ruangan yang dimaksud. Lalu matanya menangkap adiknya sedang duduk termenung di depan ruangan bertuliskan operasi dengan tatapan kosong ke depan. Abra langsung berlari menghampiri Rere.

"Dek?"

Rere mendongakkan kepala lalu bertemu tatap dengan Abra. Matanya tak percaya tapi ia langsung menubruk dada Abra dan sesenggukan di dalam pelukan sang Abang. "Papa..."

Abra menyusuri matanya melihat sekeliling. Dia melihat Riri yang sedang menenangkan wanita itu--Liana dalam keadaan yang memprihatinkan. Rambut acak-acakan mata bengkak dan hidung merah akibat menangis terus tanpa henti. Ada apa sebenarnya?

"Papa mana?"

Riri yang menyadari kedatangan Abra langsung menghampiri sang Abang dan menatapnya tajam. "Baru sadar sekarang?! Ha?"

"Papa mana, Dek?"

Riri berdecih pelan mendengar pertanyaan Abra. "Papa di operasi! Operasi!"

"Jangan teriak, Ri. Kenapa lo marah-marah sama Abang?" tanya Rere yang sudah terlepas dari pelukan Abra.

"Gimana gue gak marah?! Kalo Abang udah hampir gak peduli sama Papa sendiri. Di saat sekarat pun dia nolak dateng kesini. Gimana gue gak marah?!" teriak Riri brutal sambil menangis kejar. Abra menunduk pilu melihat sang adik yang kesetanan memarahinya. Abra sadar ia salah disini. Tapi apa semua itu salahnya? Ia hanya ingin menjaga perasaan sang Mama.

"Udah jangan marah. Mending sekarang kita doain Papa supaya operasinya lancar." Rere menepuk-nepuk pelan punggung Riri menenangkan.

Saat Abra sedikit menjauh dari adiknya. Matanya menangkap Liana yang juga menatapnya balik dengan tatapan tanpa ekspresi yang membuat Abra bingung. Abra yang terlihat gelisah di tatap seperti itu memutuskan menenggelamkan kepalanya di lutut sembari menunggu dokter keluar dari ruangan operasi.

Tap tap tap

"Mama kamu mana?"

Abra mendongak melihat orang yang sedang bertanya pada dirinya. Matanya bertemu pada wanita pilihan Papanya empat tahun lalu. Hatinya kembali perih mengingat pengkhianatan itu.

"Kamu masih marah dengan saya?" tanya Liana lagi.

Abra diam tak ingin menjawab. Rasanya dia ingin menjauh dari wanita ini, wanita yang membuat Mamanya menderita.

Liana tersenyum melihat Abra yang masih diam tanpa mau menatap dirinya. "Papa kamu sudah menikah dengan saya, Abra. Jadi saya bukan lagi kekasih gelap yang kamu maksut."

Abra sontak menoleh tajam ke arah wanita itu. Berani sekali dia memamerkan posisinya di depan Abra. Peduli apa Abra pada dirinya. "Saya sudah menikah dengan Mas Fadli enam bulan lalu tepat kalian pindah ke Jakarta." Lanjutnya yang mampu membuat Abra semakin geram.

AREYNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang