42. Sadboy

71 6 0
                                    


Votes terlebih dahulu supaya berkah.


Hai, aku kembali dengan part yang pendek. Hehehe, nggak apa-apa ya.

****

Berminggu-minggu sudah berlalu setelah kepergian seseorang yang meninggalkan luka padanya. Semenjak kejadian pamit lalu, gadis itu seakan tidak mau memberikan tali komunikasi untuknya. Selalu membiarkan pesan Diki terbengkalai tanpa mau menjawab. Membiarkan panggilannya berulang kali sampai membuat dirinya lelah.

Minggu ini kelas dua belas sudah mulai melakukan simulasi ujian nasional. Dua tiga minggu lagi dirinya dan semua teman angkatannya akan melakukan ujian nasional.

Semoga lulus dengan nilai yang baik, kak.

Kalimat itu selalu berputar saat dirinya ingin terjun ke tawuran. Mundur perlahan untuk menghindari hal-hal yang membuatnya jauh dari nilai tidak baik.

Tanpa disangka, perkataan gadis itu sangat berpengaruh untuk dirinya. Merubah dirinya yang dulunya berandalan menjadi anak rajin. Diki sudah jarang kumpul-kumpul dengan anak tongkrongannya. Alasannya selalu Mamanya meminta bantuan Diki untuk mengirimkan kue. Padahal tidak, ia belajar di rumah dari pulang sekolah sampai malam. Begitu setiap harinya.

Kadang dia juga bingung kenapa dirinya berubah. Untuk siapa?

Diki tertawa kecil menatap ponselnya yang menampilkan wajah garang yang selama ini menjadi alasan berubahnya.

"Gimana kabar lo?"

"Pasti di sana lo sering marah. Betul nggak?"

Diki tertawa keras sambil melemparkan ponselnya kasar ke arah kasur.

Matanya nyalang ke arah jendela. Ingin sekali tangannya ia pukulkan barang apapun. Hatinya berkecamuk, pikirannya berkelana mencari alasan apa yang membuat dirinya seperti ini.

Diki menjambak kuat rambutnya sambil duduk di tepi ranjang.

"Diki!"

"Nak, ada temanmu."

"Diki!"

Diki terperanjat kaget saat mendengar suara Mamanya sambil mengetuk pintu. Ia segera berlari ke arah kaca lemari. Merapikan sedikit penampilannya yang terlihat kusut dan berantakan.

"Ada apa, Ma?" Diki melihat sang Mama yang sedang membawa sekotak kue kering untuk di packing.

"Ada temanmu itu lho. Sana samperin."

Diki mengernyit bingung. Hari minggu pukul delapan pagi. Siapa yang bertamu di waktu seperti ini?

"Siapa sih." Gumamnya sambil berjalan keluar menuju ruang tamu.

"Ngapain lo kesini?!"

Orang itu menoleh dan menatap Diki datar.

"Namu lah."

"Pergi sana, njing." Lirihnya kelihatan marah.

Firdaus menghembuskan napas pelan. Menatap Diki, teman sekelasnya prihatin. Niatnya berkunjung ke rumahnya bukan untuk memancing emosi. Ya walaupun ia tahu sejak awal kalau Diki akan semarah ini. Secara mereka berdua musuh bebuyutan sejak kelas sepuluh.

"Gue mau ngajakin jogging."

Diki mendengus geli. Melipat kedua tangannya di depan dada lalu menatap nyalang Firdaus di depannya.

"Bacot. Mana temen lo si Bryan sampe ngajakin gue? Kekurangan temen lo, ha?"

"Terserah. Tujuan gue itu baik. Cuman mau ngasih cara biar lo berhenti gila kayak gini."

AREYNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang