"Aku udah mutusin bahwa Gibran harus dioperasi," lirih Rian menatap Raya yang kini penuh luka. Mendengar perkataan Rian membuat Raya kembali terisak.
"Aku udah ngomongin ini sama Bagas semalam, dengan sangat terpaksa Bagas juga mengizinkan. Walaupun ada resiko yang akan menjadi pertimbangan," jelas Rian mengenggam tangan Raya dan menatap wajah Raya yang sangat kusut.
"Aku takut hiks.."
"Kita semua takut, tapi ini gak ada pilihan lain. Kalau kita gak melakukan operasi Gibran gak akan tertolong, setidaknya dengan oprasi kita bisa menunggu keajaiban" jelas Rian dengan pelan.
"Kamu gimana?" tanya Rian meminta persetujuan.
"Aku juga udah minta izin sama anak anak, mereka memberikan keputusan yang sama. Walaupun mereka berat" Raya mengangguk dan langsung memeluk Rian erat.
"Bagaimana kalau operasinya gagal? Gibran ninggalin kita, gimana kalau Gibran amnesia? Aku gak mau."
"Masih ada harapan untuk sembuh, sayang," ucap Rian dengan pelan.
"Aku takut."
"Jangan takut, semuanya akan baik baik saja. Kamu kan tau Gibran itu kuat."
Raya mengangguk dalam pelukan Rian dan menangis terisak. Tak lama datanglah Reyhan dan Bryan dengan lesu menyalimi kedua orang tuanya.
Mereka baru aja bangun tidur dari tidurnya yang sangat singkat, sedangkan Zafran Dava dan Fajar memutuskan untuk pulang terlebih dahulu.
"Kalian terlihat gak baik baik aja," ucap Rian menatap kedua anaknya yang tidak bergairah.
"Terlebih kamu, kak. Kamu fine?" tanya Rian dan Bryan mengangguk singkat.
"Kalian masih sangat lelah, kenapa gak istirahat aja dirumah?" Mereka menggelengkan kepalanya kompak.
"Mau disini aja nemenin Mamah sama Ayah," ucap sibungsu.
"Kalian belum makan kan?"
"Udah yah tadi kita sempat beli bubur didepan." Bohong sisulung yang diangguki sibungsu. Berbohong, ya mereka berbohong. Untuk tidur aja mereka susah apalagi makan.
"Syukurlah." Raya melepaskan pelukan dari Rian dan memeluk Bryan yang ada disampingnya.
"Kak, Mamah takut," lirih Raya. Bryan membalas pelukan itu.
"Gak usah takut Mah, masih ada kita. Kita juga berdoa buat Gibran, ok." Bryan sangat teriris mendengar aduan dari Raya.
"Ia, Mah."
"Kalian mau kedalam?" tanya Raya yang tentu diangguki oleh kedua anaknya.
"Kedalam sana." Bryan dan Reyhanpun kedalam.
"Sayang.. Kita cari makan dulu yuk, perut kamu harus diisi, apalagi ada baby diperut kamu," jelas Rian.
Ya Raya sedang mengandung anak ke empatnya, baru saja berusia dua minggu. Tidak ada yang mengetahui kehamilannya kecuali Rian, Nenek dan kakeknya.
Awalnya Raya hanya muntah muntah dan merasa letih, Raya menyebutnya ia masuk angin. Namun, kondisi tersebut membuat Rian khawatir dan memutuskan untuk mengeceknya kedokter dan benar saja, sudah ada janin dalam perut Raya.
"Kamu perlu makan, kamu juga harus memikirkan janin kamu." Raya mengangguk pelan. Rencananya batal, seharusnya tadi pagi ia akan memberitahukan kepada anak anaknya bahwa ia sedang hamil, namun gagal karena ada peristiwa tak mengenakan seperti ini.
Sebelum bangkit Raya menoleh pada ruangan tempat Gibran dirawat, dengan pandangan cemas Raya kembali menitikan air matanya.
"Jangan cemas sayang, didalam ada saudara saudaranya, mereka saling menjaga satu sama lain," kata Rian. Raya menoleh pada Rian dan tersenyum tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gibran Zaidan || END
Teen FictionSquel Gibran || Book Dua ||Sedang Revisi "Hidup dengan harapan, namun dikalahkan oleh harapan, lantas?" 11 Mei 2020-19 Agustus 2020 2 januari 2022-