Dug
Tangan kekar Rian menonjok tembok depan ruangan sang dokter dengan perasaan hancur, sedih dan patah.
Mukanya padam, hatinya bergemuruh jantungnya berdetak dua kali lipat. Rian tidak serangan jantung, Rian sehat. Tapi ada sesuatu yang membuat Rian hancur dengan satu kata, perkataan dokter.
"Kanker otak."
Deretan kata yang dokter lontarkan bersarang apik dipikirannya.
Tentang diagnosa dan kesembuhan.
Rian menyandarkan bahu kekarnya pada tembok bercat putih abu itu. Tanggannya mengepal, pikirannya melayang.
Apa yang harus ia katakan pada istrinya?
Rian menatap map yang berisikan hasil pemeriksaan kondisi anak tengahnya.
Terlihat nama GIBRAN ZAIDAN ADIBRATA, itu nama lengkap anaknya Dokter tak salah dan Rian ingin menyalahkan.
Anaknya itu tidak mungkin sakit keras seperti ini, Gibran sehat. Rian maupun Raya selalu menjaganya dengan baik. Tapi kenapa ini bisa terjadi?
"Kenapa bisa seperti ini ya Tuhan."
Penyakit itu belum terlalu parah, mereka tidak telat untuk mengetahui penyakit yang bersarang ditubuh Gibran.
Dari pengakuan Gibran, Gibran merasakan kondisi tubuhnya yang menurun sebulan yang lalu. Belum terlalu parah namun bisa merengut nyawanya kapanpun.
Dengan langkah pelan dan ragu, Rian melangkahkan kakinya untuk menghampiri keluarga kecilnya yang berada diruang rawat Gibran.
Apa yang harus ia katakan pada Bagas?
Pada Bryan dan Reyhan?
Dan pada Gibran sendiri?
Rian tidak sanggup untuk mengatakannya, ingin rasanya ia mengatakan bahwa anaknya baik-baik saja dan hanya kecapean. Syangnya ,itu hanya seandainya karena pada kenyataannya anaknya sakit keras.
Ceklek
Rian tersenyum masam melihat istrinya yang sedang menyuapi Gibran. Reyhan yang tertidur dan Bryan yang sedang menonton televisi.
"Gimana Yah? Aku baik?" tanya Gibran.
Rian tersenyum lagi, entah senyuman apa yang Rian berikan. Tapi Bryan berhasil menangkap sesuatu didalam senyuman manis milik ayahnya.
"Gak papa, kamu baik-baik aja. Setelah makan, kamu istirahat ya." Gibran terdiam.
"Ayah bohong sama Gibran?" tanya Gibran yang membuat Raya heran juga.
"Apa yang ayah bohongin? Kamu gak papa." Gibran menghela nafas.
"Padahal aku yang merasakan gimana tubuh aku yah, tapi syukur kalau emang gak papa."
Rian terdiam, benar. Gibran yang mempunyai badan itu dan lebih tau apa yang dirinya rasakan. Rasanya Rian berbohong sangat tidak bermanfaat, biarkan ia berbohong saat ini setelah ini Rian akan menjelaskan pada Istrinya.
"Mah udah."
"Yaudah istirahat.c Gibran mengangguk dan mulai membaringkan tubuhnya, matanya perlahan ia pejamkan.
"Kak, antar Ayah cari makan sana." Bryan mengangguk.
"Kamu cari makan dulu sana."
Rian dan Bryan berjalan dikoridor dengan keadaan hening. Bryan menatap map yang Rian bawa. Bryan tau itu hasil pemeriksaan adiknya.
"Yah."
Rian menoleh "Apa kak?" tanya Rian.
Bahkan Bryan menyadari bahwa wajah Rian sangat muram, penuh misteri dan putus asa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Gibran Zaidan || END
Ficção AdolescenteSquel Gibran || Book Dua ||Sedang Revisi "Hidup dengan harapan, namun dikalahkan oleh harapan, lantas?" 11 Mei 2020-19 Agustus 2020 2 januari 2022-