"Gak usah merenung, lo:gak salah," tutur Bryan. Bryan terduduk disebelah Gibran.
"Kalau gak salah kenapa Oma nyalahin gua?"
Bryan terdiam dan menggelengkan kepalanya. "Gak usah dipikirin, lo tau sendiri dia kayak ape," ujar Bryan dengan nada kesal.
Bryan kesal pada orang-orang yang selalu memenuhi pikiran Gibran, terlebih pada Oma nya.
"Cape gua disalahin terus sama dia, kurang sabar apalagi gua selama ini," ucap Gibran.
"Gak usah diperduliin, dia udah tua maklum aja."
"Lo yang santai, lah gua?"
"Udah gua bilang jangan dipikirin, acuhin aja,orang tua kayak dia emang udah kembali kemasa kanak-kanak, egois," cecar Bryan dengan nada yang santai.
"Lo ngomong kayak gitu kayak gak takut sama azab aja, dia orang tua," kata Gibran yang terkekeh dengan pertuturan Bryan yang bar-bar.
"Lah orang tua kayak dia emang perlu dihormatin? Enggak Gi, anak kecil baru lahir aja tau kalau orang meninggal itu karena takdir," kesal Bryan yang kesal karena Gibran menjadi pihak tersalahkan.
"Yaudahlah mungkin dia belum bisa menerima kenyataan, jadi kayak gitu nyalah-nyalahin gua."
"Lagian kenapa lo gak lawan sih?Biasanya lo suka ngelawan."
"Dia orang tua kalau lo lupa."
"Cih, dulu aja lp suka ngelawan sampe dia gak bisa berkata-kata sampe langsung angkat kaki," kekeh Bryan ketika mengingat dulu.
"Khilaf gua," balas Gibran dengan kekehan juga.
"Emang dasarnya bukan lo kalau gak ngelawan, kan lo jago tuh ngelawan, sama Ayah aja dulu lo berani banget," jelas Bryan.
"Tobat gua takut diazab.'
"Dihh pale lo diazab."
"Gua cape ngelawan terus sama Oma, yang ada dosa gua numpuk karena lawan orang yang lebih tau dari gua, gua mah sebagai anak yang baik diem aja, toh gak bisa rubah apapun walaupun gua gak diam. Tetap sama, Oma pasti nyalahin gua tentang kematian Opa.."
"Ya walaupun gua gak tau apa-apa," lanjut Gibran dengan nada pelan.
"Yaudahlah gak usah diperduliin, semua anggota keluarga udah paham sama sikap nya si Oma," balas Bryan.
"Udah gak aneh kalau dia nyalah-nyalahin orang yang bahkan gak tau apa-apa," lanjut Bryan.
"Kadang gua mikir, kenapa Oma sebegitu bencinya sama gua. Salah gua apa coba?" tanya Gibran.
"Udah gak usah dipikirin."
"Lo gampang ngomong, lah gua? Jadi pemikiran setiap gua ketemu Opa."
"Kita gak bisa maksa buat mereka suka sama kita, mereka punya hak buat suka begitupun dengan benci. Toh santai aja,kita gak akan ngerugiin juga kan?"
"Seseorang benci seseorang pasti ada alasanya lah, kak."
"Gua tanya, lo cinta sama Devi ada alasan pas gak?" tanya Bryan.
"Ah soal Devi, gua sedih dia punya pacar."
"Alah melow," sindir Bryan.Gibran hanya mencibirkan lidahnya.
"Gua tanya lagi lo cinta Devi ada alasan kuat gak?" tanya Bryan.
"Gak jadi gua cinta sama dia,bbaru mulai aja udah sakit hati. Gimana kalau dilanjutin. Bisa mati karena cinta gua,' gurau Gibran.
"Ahelah serah lo bomat. Gua ngomong serius lo becandain," kesal Bryan.
"Lagian lo aneh, kak. Gua bahas Oma kenapa yang lo bahas Devi? Emang si Devi Oma gua apa?" sewot Gibran.
"Bomat! Mandi lo sana!" kesal Bryan yang meninggalkan Gibran.
"DIH SALAH GUA DIMANA ?" teriak Gibran.
***
"Gibran mana, Kak?" tanya Bagas yang mendapati Bryan yang baru saja masuk rumah.
"Taman, Pah. Papah susulin gih, Bryan bete sama dia."
"Yaudah kamu bantuin Reyhan sana, mau ada tahlilan.' Bryan mengangguk.
Sesuai apa yang diucapkan Bryan,Bagas menghampiri Gibran yang terduduk santai dibawah pohon.
"Sendiri aja, senderan dipohon lagi. Kalau ada ulat nanti gatel-gatel," ucap Bagas.
Ucapan Bagas membuat Gibran sedikit tersentak, gimana tidak tersentak. Gibran sedang melamun dengan memperhatikam ikan-ikan hias yang ada dihadapannya.
"Papah ngagetin aja," keluh. Gibran membenarkan posisi duduknya agar tegap.
"Ya maaf."
"Terus Gibran lagi ngapain disini?Bukannya bantu Reyhan..
"Emang Reyhan lagi apa?"
"Mungkusin uang buat tahlilan."
"Lah gitu doang, gak usah dibantuin."
"Yaudah terserah yang ganteng aja"
"Emang aku ganteng"pedenya tingkat gila.
"Pertanyaan Papah belum dijawab loh, Gi," kata Bagas.
"Aku bosan aja didalem, gak enak disalah-salahin terus mending disini. Adem dan bikin nyaman."
"Papah temenin mau gak?"
"Siapa bilang gak boleh," kekeh Gibran.
"Kamu bahagia pasti hidup ditengah-tengah keluarga Adhibrata."
"Ko Papah ngomongnya kayak gitu,$ kesal Gibran.
"Setiap kehidupan gak selalunya bahagialah, Pah. Bahagia sedih juga udah biasa jangan ngomong kayak gitu lagi, iya?"
"Papah merasa gagal aja selama ini, Papah gak bantu jagain kamu, gak besarin kamu. Padahal kamu adalah tanggung jawab Papah sepenuhnya"
"Udahlah, Pah. Gibran gak mempermasalahin yang dulu-dulu.yang udah mah udah aja, yang tepenting Papah udah sama Gibran."
"Dengan datangnya Papah, itu udah cukup sebagai tanggung jawab Papah selama ini."
"Walaupun aku sempet marah."
"Kamu berhak marah, kan emang Papah yang salah.."
"Tapi Papah udah minta maaf sama Gibran."
"Kamu hobi motong ucapan orang ternyata." Gibran hanya terkekeh dan merasakan tangan kekar Bagas mengusap rambut hitamnya.
"Kamu udah gede, rasanya gak nyangka aja kamu udah segede gini. Papah emang tak menyadari apalagi papah emang jauh dari kamu," tutur Bagas.
"Gibran emang udah gede, bentar lagi punya KTP dong."
"17 tahunnya masih 1 bulan lagi," balas Bagas.
"Itu tandanya kamu menuju pendewasaan. Kedepannya kamu harus bisa menjadi Gibran yang lebih baik, ya?" Gibran mengangguk.
"Makasih, Pah."
"Yu kedalem," ajak Bagas. Gibranpun mengangguk dan menuturi Bagas yang mengajaknya masuk kedalam rumah.
"Papah kamu mana, Gi?" tanya Rian pada Gibran yang memasuki dapur.
"Terus kamu mau kemana?" tanya Rian. Rian baru saja tenang, seharian ini Rian baru berbincang dengan Gibran.
"Mau mandi ,gerah tapi takut dingin."
"Kamu bukan anak kecil. Masa sama air dingin aja takut," sindir Rian.
"Ah gak usah ngejek."
"Yaudah kamu tunggu disini atau samperin Bryan sama Reyhan yang ada diatas tuh, Ayah nyamperin Mamah dulu"
"Iya."
****
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gibran Zaidan || END
Teen FictionSquel Gibran || Book Dua ||Sedang Revisi "Hidup dengan harapan, namun dikalahkan oleh harapan, lantas?" 11 Mei 2020-19 Agustus 2020 2 januari 2022-