chapter 43

6.5K 664 70
                                    

"Kak?" Bryan menoleh, ia melihat raut kesakitan terlihat diwajah pucat sang adik. Bryan tau Gibran kembali mendapat serangan.

Sudah seminggu diagnosa itu dijatuhkan pada Gibran. Masih awal tapi sudah membuat Bryan ketakutan luar biasa. Apalagi dimasa seperti ini.

"Apa hem?" tanya Bryan.

Bryan menghampiri Gibran dan mengusap puncak kepala Gibran. Keadaan Gibran turun naik, itu membuat keluarga dan dokter kelimpungan. Dokter sudah menjadwalkan pengobatan terbaik buat Gibran. Namun sayang, kondisi Gibran yang masih turun naik membuat jadwal itu terundur.

"Kenapa? Pusing lagi? Kepalanya sakit?" Gibran mengangguk pelan.Gibran membawa tangan Gibran dan digenggamnya.

"Sa..kit."

Semalam, Gibran mendapatkan serangan hebat. Dan Bryan tidak mau Gibran kembali mendapatkan serangan itu.

"Sabar lo kuat, genggam tangan gua.percaya sama gua, gua ada buat lo oke?" Bryan tak bosan memberikan kalimat penenang buat Gibran.

Gibran mengangguk disela sakitnya, ia semakin mengeratkan gengaman Bryan. "Jangan pukul kepalanya, genggam tangan gua aja," Kata Bryan ketika melihat tangan satunya lagi Gibran memukul kepalanya.

"Sa..kit banget," ingisnya.

Bryan membawa Gibran kepelukannya. Ia tak bisa apa-apa. Gibran mengeratkan pelukan Bryan padanya.Ini sakit,Bryan tau sesakit apa yang Gibran rasakan walaupun dia tak bisa merasakan.

Hingga 15 menit kemudian, Bryan mendengar dengkuran halus bertanda bahwa Gibran berhasil melawan rasa sakitnya dan tertidur.

Dengan pelan, Bryan membaringkan tubuh ringkih Gibran.Ia membenarkan letak infusan dan juga selimut.

Setelah itu ia pandagi wajah itu dengan tatapan sendu. Tanggal 10 agustus, Bryan akan terbang keAmerika untuk melanjutkan pendidikannya. Sisa kurang lebih dua bulan Bryan di Indonesia.

Ceklek

"A Gi tidur?"

Suara itu suara Reyhan, anak itu datang membawa tas sekolahnya yang Bryan yakini anak itu baru pulang sekolah.

Masih jam 11. "Lo bolos?"Reyhan menggelenglan kepalanya.

"Senin ulangan, jadi dibubarin lebih awal."

Reyhan melepas jas almamater sekolah SMPnya. "Kenapa pulangnya kesini? Gak kerumah?" Reyhan menggelengkan kepalanya.

"Mau nyamperin kak Bry dan A Gi gua tau kakak bakal cepet ke Amrik ,gua gak mau nyia-nyiain waktu buat gak sama lo dan A Gi, gua mau terus ngeliat dia."

Bryan yakini, adik bungsunya ini memang terlihat semakin dewasa. Bryan tersenyum ."Bawa baju ganti gak?" Reyhan mengelengkan kepalanya.

"Nanti dibawain Ayah, kakak gak pulang dulu?i istirahat gih,kakak belum istirahat bener kan?"

"Nanti aja lo seharusnya diem dirumah, belajar yang bener."

"Lo udah tau alesan kenapa gua mau disini." Bryan terdiam.

"Yaudah. Lo isini, tungguin Aa lo. Gua cari makan dulu buat lo sama buat gua."

"Biar gua aja kak"

"Diem lo baru pulang sekolah, diem aja disini." Reyhan nurut dan membiarkan Bryan keluar untuk memcari makan siang buat mereka berdua.

Reyhan baringan disopa yang tersedia diruang rawat Gibran. Gibran masih tertidur rapat, Reyhan tidak mau mengangguk acara tidur nyenyak sang kakak.

Reyhan berandai-andai jika nanti Bryan pergi dari Indonesia, dengan keadaan yang sulit pertama Gibran sakit keras dan Raya sedang hamil besar. Reyhanlah yang akan menjadi penguat buat Raya setelah Bryan pergi keAmerika.

Ingin rasanya Reyhan menolak bahwa Bryan akan sekolah disana. Bukan tidak mengizinkan tapi tidak untuk sekarang tapi Reyhan tidak bisa melakukan itu, Reyhan tau ini impian kakak pertamanya.

Melihat sosok Gibran, membuat Reyhan semakin terdiam dilanda ketakutan. Melihat kesakitan yang menghampiri Gibran tadi malam saja membuat Reyhan menangis dalam diam dan malah pergi meninggalkan ruang rawat.

"Reyy."

Reyhan menoleh dan menghampiri Gibran dengan langkah semangat. "Ia A?"tanya Reyhan jangan lupakan senyum andalan Reyhan yang dijadikan topeng.

"Udah pulang?" Reyhan mengangguk semangat

"Senin udah mau UAS, jadi muridnya dibubarin. Aa mau apa?minum?" Gibran mengangguk pelan.

"Bentar."

Reyhan mengambil gelas yang tersedia diruang rawat Gibran itu. "Udah.. kakak kemana?" tanya Gibran.

"Cari makan."

"Ouh.. sorry ya ngerepotin."

"Gak papa, gua kan adek lo yang paling gemesin hehe."

"Semangat nanti ujiannya doain gua semoga bisa ikut ujiannya." Reyhan mengangguk.

"Makasih A gua pasti doain ko." Gibran tersenyum

"Asal semangat buat sembuh ya A. Gua gak mau kehilangan kakak seperti lo." Lagi-lagi Gibran tersenyum.

"Doain aja semoga gua sembuh ya." Reyhan mengangguk.

"Kak Bryan berangkat kapan?" tanya Gibran yang belum mengetahui apa-apa.

"Agustus awal, ngambil Universitas Harvard," ujar Reyhan.

"Lo udah mau kelas tiga cepet banget ya." Reyhan tersenyum.

"Semua soal waktu A," kekeh Reyhan.

"Gua pengen sembuh, Rey. Rasanya ini sangat menyakitkan," gumam Gibran. Reyhan terdiam, ia akan menjadi pendengar yang baik.

"Baru seminggu disini rasanya gua bener-bener bosan. Gua udah kangen main-main sama sahabat gua, kangen sekolah, kqngen rumah juga kangen Devi."

"Lo tau gak kapan gua bisa sembuh?" Reyhan terdiam.

"Rey."

"Kalau gua gak sembuh dan ninggali orang-orang disini lo mau gimana?"

"Lo kangen Kak Zafran, kak Dava sama kak Fajar? Katanya mereka mau kesini sore," balas Reyhan menepis perkataan Gibran yang lainnya.

"Mamah lagi istirahat, Ayah lagi dikantor mereka bakal kesini secepatnya. Kangen Kak  Devi juga? Dia juga mau kesini kok." Gibran terdiam.

"Lo bneran gak tau kapan gua bisa sembuh, Rey?" tanya Gibran lirih.

"Gua gak tau dan gak bakal pernah tau gua bukan dokter yang menjadi perantara Tuhan buat kesembuhan lo dan gua bukan Tuhan yang tau kapan lo bakal sembuh.."

"Gua bener pengen sembuh."

"Kita berjuang, berdoa sama Allah dan optimis."

"Kalau gua gak kuat dan malah ninggalin dunia. Lo bakal gimana?" tanya Gibran.

"Gua akan merasa bahwa dunia bener-bener gak adil," gumam Reyhan.

"Gua gak kuat ditinggalin sama lo A. Kalau bisa gua mau nawar sama Allah biar gua yang pergi lo jangan." Reyhan menitikan air matanya.

"Jangan kayak gini, Rey," pinta Gibran.

"Apapun nanti yang akan terjadi dilain waktu, gua minta jangan ada air mata. Karena apa? Air mata itu terlalu sakit buat gua Rey."

"Gua gak bisa melihat orang-orang yang gua sayang menitikan air mata itu," jelas Gibran.

"Tapi harus janji buat sembuh,bisa?" tqnya Reyhan.

"Doain terus ya." Reyhan mengangguk.

"Gua mau nanti kalau gua pelulusan SMP ada lo, A," pinfq Reyhan sederhana tapi berharga.

"Semoga gua bisa bertahan buat satu taun kedepan, ya." Reyhan semakin teriris.

"Sembuh A gua gak mau lo ninggalin gua hiks. gua sayang sama lo," tngis Reyhan.

"Gua juga sayang sama lo ko udah jangan nangis, udah smp masih aja nangis, "cibir Gibran.

"Bodo yang penting gua sayang sama lo," katanya penuh penekanan.

***

Bersambung..

Gibran Zaidan || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang