[34] Jangan Pergi Tanpa Pamit

148 27 1
                                    

Orang yang sangat kita percaya akan berkhianat pada waktunya.

. . .

"Kenapa endingnya seperti ini?" gumam Lisa bertanya pada dirinya sendiri. Tak lupa air mata gadis itu masih terus menetes.

Lisa bergumam kembali sambil mengelap sisa air matanya. Novel di pelukannya pun ia letakkan ke meja.

Elang yang sedari tadi fokus memperbaiki mesin mobil pelanggannya kini menyudahi aktifitasnya. Elang berjalan menghampiri Lisa yang tengah duduk di dalam bengkel. Gadis itu mengelap air matanya dengan sapu tangan yang pernah ia hadiahkan.

Bukan tanpa sebab Lisa menangis kejer seperti ini, Elang sendiri tidak tau mengapa gadis itu terus menangis padahal sedari tadi sangat khidmat membaca novel. Elang rasa novel di hadapan Lisa menjadi penyebab utama kesedihan gadis itu.

"Kenapa nangis?" tanya Elang sambil mendaratkan bokongnya di kursi.

"Ending ceritanya cukup sedih, sorry ya Lang, gue jadi ganggu lo."

Lisa menampilkan wajah tak enak, bagaimanapun ia merasa bersalah karena tangisannya membuat Elang khawatir.

"Nggak apa-apa, jangan nangis lagi."

Senyum Elang mengembang, ia tidak bisa menghapus air mata Lisa dengan tangan yang kotor. Setidaknya ucapan dan senyumnya bisa membuat perasaan gadis itu lebih baik.

"Gue jadi kebawa suasana."

Lisa terkekeh kecil, namun kekehan itu tidak berlangsung lama. Mendadak wajahnya kembali murung, ia menatap wajah Elang dengan sendu."

"Elang," panggil Lisa membuat kedua alis Elang terangkat.

"Janji ya Lang, janji jangan pergi tanpa pamit." Lisa berucap dengan sangat lirih, matanya mulai berkaca-kaca.

"Janji," jawab Elang sungguh-sungguh tanpa bertanya mengapa ia harus berjanji.

"Gue ... gue nggak tau apa yang harus gue lakukan kalau lo pergi begitu saja tanpa pamit ke gue."

"Menunggu. Lo bisa menunggu kehadiran gue kembali disaat gue pergi tanpa pamit."

Lisa tersenyum getir, Elang benar yang harus ia lakukan adalah menunggu. Tapi, bisakah ia terus menunggu? Sementara disaat itu Elang pergi untuk selamanya.

"Lo benar, gue bisa nunggu lo kembali," lirih Lisa.

"Jangan sedih, gue nggak akan pergi. Gue udah janji buat selalu ada di sisi lo," ucap Elang semakin sungguh-sungguh.

Pandangan keduanya bertemu untuk beberapa saat, namun kemudian Lisa memutuskan pandangan itu secara sepihak merubahnya menjadi memandang novel di hadapannya.

"Cowok di novel itu meninggal karena kanker paru-paru. Sangat disayangkan ya Elang, mereka saling mencintai tapi harus berpisah secara tragis. Cowok itu diam-diam merahasiakan penyakitnya, bahkan kematiannya. Sebulan kemudian cewek itu baru tau kalau orang yang selama ini dia sayangi sudah beda alam."

Air mata Lisa tidak dapat terbendung lagi, tangisannya kembali pecah membuat Elang gelagapan.

"Hei, jangan nangis. Cuman novel kan?" Lisa mengangguk kecil.

"Maaf ya Elang, gue masih terbawa suasana."

"Nggak apa-apa, gue ngerti." Elang mengelus lembut punggung tangan Lisa.

"Maaf tangan gue kotor," ucap Elang kembali saat menyadari tangannya yang kotor menyentuh tangan Lisa. Bukannya marah Lisa malah terkekeh.

"Nggak apa-apa," seru Lisa dengan senyum yang mengembang. Tangan gadis itu perlahan menghapus air mata di pipinya.

ELBRASTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang