Chapter 25

206 34 6
                                    

Seperti pada umumnya, acara pemakaman tampak kelabu dan sendu. Suasana berkabung yang pekat menjalar memenuhi area pemakaman yang dipenuhi deretan rapi batu-batu nisan.

Pemakaman selesai dan seorang pendeta pergi meninggalkan setelah selesai melakukan tugasnya. Orang-orang berpakaian hitam-hitam di sekitar makam yang baru saja dibuat mulai bubar. Kecuali gadis muda yang berdiri di samping makam, tanpa air mata dengan wajah pias pucat. Seorang wanita berpakaian serba hitam namun tetap tampak elegant memeluk gadis itu, sementara seorang bocah balita menatap gadis itu dengan mata birunya yang polos.

Sowon menerima pelukan si wanita yang ia ketahui adalah mantan istri Sehun, dan tentu saja bocah itu adalah putra wanita itu. Wanita itu dengan suara masih serak mengatakan bahwa ia akan datang berkunjung ke rumah. Sowon hanya mengangguk dengan kaku. Kemudian bola mata biru Sowon tidak sengaja menemukan dua sosok sedang berdiri mengawasi di antara deretan pohon pinus di kejauhan. Sowon mengenali sosok tinggi besar dan satu sosok seorang gadis itu.

Sowon menoleh ketika si Wanita menarik lembut tangannya untuk meninggalkan makam. Ia mencoba tersenyum kepada si wanita, namun gagal. Bibirnya dengan dingin tertekuk. Nampaknya si wanita juga tidak memaksa Sowon untuk tersenyum. Sambil melangkah meninggalkan makam, Sowon kembali menoleh ke deretan pohon pinus. Namun dua sosok itu telah menghilang.

***

Nagyung ingin sekali berdiri di sana lebih lama sampai Sowon menghilang dari pandangannya. Ia tidak ingin meninggalkan Sowon begitu saja. Sowon membutuhkan seseorang. Seseorang yang bisa melindungi dan menjaga gadis yang sudah cukup banyak menderita itu. Dan semua penderitaan itu disebabkan olehnya, ia mengakuinya.

Nagyung tidak pernah berhenti untuk menyalahkan dirinya. Ini semua salahnya. Salahnya karena membiarkan dirinya untuk menyetujui permintaan Sehun. Sehun seharusnya tidak pergi ke sekolah sihir. Jika hal ini tidak pernah terjadi, maka pagi ini Sehun masih bersama mereka. Pria malang itu terlalu baik untuk pergi meninggalkan dunia ini. Sangat disayangkan sekali. Bumi seakan ikut menangis karena kehilangan satu pria baik-baik, walau pun cuaca pagi hari di bulan ini cukup hangat namun kesunyian pekat menguasai.

Nagyung mencoba menegarkan dirinya dengan berdiri lebih tegak, memaksa wajahnya untuk tidak terus menunduk menatap permukaan bumi di bawahnya. Terlalu banyak menunduk menyebabkan air matanya tanpa ragu menggelegak keluar.

Benar-benar menyedihkan. Betapa lemah dan menyedihkannya.

Jika ini adalah cerita dalam sebuah buku, sudah pasti tidak akan ada pembaca yang menginginkan membaca ceritanya. Seorang gadis lemah dan payah menjadi tokoh utama. Hell. Buku cerita itu akan dibuang ke dalam tong sampah tanpa ragu. Dan lihatlah betapa menyesalnya orang-orang yang telah membeli buku itu.

Si tokoh utama tidak bisa menyalamatkan hidup teman-temannya. Meski ia seorang Penyihir sekali pun. Si tokoh utama tidak bisa melindungi seorang gadis yang telah menderita banyak karenanya. Karenanya.

Dan kenapa HARUS karenanya? The Hell! Ia hanyalah seorang Lee Nagyung. Penderitaannya bahkan lebih berkali-kali lipat dari semua orang-orang yang tidak bisa ia selamatkan. Ia menderita. Ia sudah pernah merasakan mati berkali-kali. Dibunuh. Hidup kembali tapi tidak benar-benar hidup. Sekarat tanpa darah bertahun-tahun. Dibunuh lagi, jika kata itu memang tepat untuk ia gunakan dalam situasinya. Dan ia harus terbagi menjadi dua. DUA. Dirinya, si boneka. Dan satu lagi, DIRINYA yang tanpa jiwa, yang sama sekali tidak ia kenali. Apakah ada yang lebih menderita selain dirinya?

Vigorous [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang