45

71 11 6
                                    

Yura melihat sekitarnya. Mata kuliahnya hari ini sudah selesai yang kebetulan juga sama dengan Kenan. Alhasil, Kenan mengajak Yura mampir sejenak ke kantin.

"Es cendol datang!" Yura menyebut dengan semangat.

Kenan meletakkan satu porsi es cendol ukuran jumbo di tengah keduanya. "Kelihatan seger, asli," ujar Yura tak sabar melihat es cendol itu. Apalagi saat cuaca panas begini, segarnya bukan main.

Saat hendak meraih sendok, tangannya ditepis pelan. "Gue aja yang suapin," usul Kenan membuat Yura tersipu.

Kenan mengambil sesendok cendol. Ketika hendak menyuapkan pada Yura ia terlebih dahulu meniup-niup cendol itu. "Kok ditiup-tiup gitu, Ken?" Heran Yura melihat tingkah Kenan yang suka aneh mendadak.

"Biar gak panas," ujarnya acuh sedetik kemudian, "eh inikan pakai es, ya?" Yura memekik lucu, dari tadi kemana saja Kenan sampai baru sadar? Jelas-jelas namanya es cendol, tidak mungkin panas.

Kenan yang awalnya malu akan tingkah lakunya berubah tersenyum. "Boleh gak ya gue pindah jurusan?"

"Jurusan apa?"

"Jurusan Comedy," jawabnya cepat membuat Yura tersedak.

Kenan panik, langsung berdiri menuju Yura, menepuk-nepuk pelan punggung leher gadis itu. "Makanya pelan-pelan," tuturnya mengingatkan.

"Emang ada jurusan itu?" tanya Yura setelah berhenti tersedak. Kenan mengangguk, mengingat ia pernah membaca artikel seputar jurusan unik. "Ada di Humber Collage, Kanada."

"Kenapa mau pindah?"

"Biar bisa bikin lo ketawa terus," jawab Kenan enteng.

Enteng bagi Kenan, manis bagi Yura.

"Emang Bunda ngasih ijin kalau kamu pindah?"  Kenan terperangah, rahangnya jatuh ke bawah. Apa tadi kata Yura? Bunda? Kamu?

"Ngomong apa tadi?" Yura gelapan. Mulutnya tak sengaja mengucap itu tadinya.

"E-enggak ada," gugup Yura.

"Mulut tolong bekerja sama," Jeritnya dalam hati.

Kenan melirik Yura jahil. Mencoba menahan sekuat mungkin agar senyumnya tidak terukir. Kan sudah Kenan bilang, Yura ini akan jadi calon istrinya.

"Aku udah dapet lampu hijau, nih? Ke KUA langsung, yuk!" canda Kenan yang ikut merubah panggilannya dari gue-lo menjadi aku-kamu.

"Apa sih? Gak jelas banget lo," balas Yura malu.

"Gak jelas gimana, sih, hm?" Kenan menyolek dagu Yura sengaja.

Yura menatap sangar, walau dalam hatinya seperti ada yang ingin menari-nari. "Tangan lo genit banget, sih."

"Ululu sayang." Ulang Kenan lagi menoel pipinya yang seperti tomat merah.

"Heh!"

Sudahlah, dekat dengan Kenan memang harus seperti itu.

***

Seira tersenyum-senyum sendiri melihat tangannya yang diapit Kenan menuju taman. Siapa pun pasti bahagia di saat orang yang kita sukai melakukan kontak fisik menggenggam tangan seperti ini.

Seira merasa menang sebelum bertindak.

"Keren, kan?" tanya Kenan memperlihatkan taman kampusnya yang dipenuhi berbagai macam bunga salah satunya, bunga matahari.

Seira mengangguk senang lalu mendekati hamparan bunga matahari itu sambil mengambil beberapa foto.

"Kak foto bareng, yuk!" Seira menarik ujung lengan kemeja Kenan. Yang diajak mengiyakan lalu mereka mengail beberapa foto bersama.

Seira bahagia bukan main. Jika begini terus, perasaannya yang sekecil kacang hijau pun bisa tumbuh lebih besar.

"Kak, Gue cantik nggak?" Kenan terkekeh gemas, mengacak pucuk rambut Seira hingga poni-nya pun ikut rusak.

Seira mendengus kesal. "Siapa yang bilang lo cantik?"

"Gue, lah."

"Kalau gitu lo gak cantik. Tapi imut," tambah Kenan membuat Seira tersipu. Ayolah Kenan, apa masih tidak sadar bahwa Seira tertarik padanya? Dulu saja bilang Yura selalu tidak peka kini, giliran dirinya yang demikian.

"Lo mau ini?" tunjuknya pada bunga matahari yang membuat Seira mengangguk ragu. "Mau, sih. Tapi, apa boleh diambil?"

Kenan memegang salah satu bunga. "Jelas nggak boleh, lah. Maksud gue kalau mau ya dibeli di toko bunga," jelasnya tertawa terpingkal-pingkal.

Awalnya Seira kesal karna merasa sudah terbang ke langit ke-7 namun, malah dijatuhkan sekuat mungkin ke dasar.

Akan tetapi, semuanya bayar hanya dengan melihat senyuman Kenan yang dia sukai. Terlalu cepat menyimpulkan memang, Seira bisa jatuh cinta hanya karna ditolong. Atau karna paras Kenan yang tiada tanding tampaknya ini yang membuatnya seperti tergila-gila.

"Gue jadi inget seseorang," gumamnya yang masih bisa didengar Kenan.

"Siapa?" Seira menoleh tersenyum. "Kak Ghani, abangnya Seira," jawabnya.

Kenan mengangguk paham tanpa berniat bertanya lebih jauh. Ia sedikit risih. Seperti ada sepasang mata lain yang memperhatikan gelagat mereka berdua di taman. Sayangnya, Kenan tidak menemukan presensi orang tersebut.

"Kenapa, Kak? Kok kayak nyari sesuatu gitu," ucap Seira menyadari Kenan yang melihat kanan-kiri.

"Eh nggak, gue cuman ngerasa ada yang liatin kita aja."

"Masa, sih?" Seira ikut melirik sekitarnya, "perasaan Kakak aja kali."

Kenan mengendik bahu. Irisnya menyorot jam tangan miliknya. Sudah sore dan ia harus pulang bersama Yura. "Eh lo gue tinggal gak apa?" tanya Kenan segan.

"Emang mau ke mana, Kak?" Seira bertanya balik.

"Pulang, Sei."

Seira memegang lengan kanan Kenan. "Gue boleh ikut, Kak?" tanyanya penuh harap.

Sungguh Kenan merasa tidak enak. Rasa tidak enaknya ini yang selalu membuatnya dengan Yura semakin jauh. Seperti dengan Tania dulu.

"Maaf, Sei. Tapi gue harus nganter Yura," tolaknya melepaskan tangan Seira. Ya, dia harus bisa tegas sekarang.

Seira terlihat masam. Mukanya tampak tak suka saat mendapati Yura tengah bersembunyi di balik pohon.

"Kak Yura itu manja, ya?" tanyanya sama seperti saat bertemu Ares tadi.

Yang ia pikir hanya, Yura manja dan Yura manja.

Kenan menggeleng pelan. "Nggak kok. Yura itu mandiri orangnya, gue kan tetangganya, gue juga yang mau antar-jemput Yura tanpa dua minta. Eh tapi doain jadi suaminya ya, hehe," ucap Kenan yang tanpa sadar melukai Seira.

"Kalau gitu gue balik dulu." Kenan terkejut. Seira memeluknya secara tiba-tiba.

"Kak, gue sayang sama lo."

Kenan mematuhi, lalu membalas pelukan Seira. "Gue juga sayang sama lo."

Ares mematung. Apa-apaan itu? Ia kira Kenan akan melepaskan pelukan Seira paksa. "Tuh, gue bilang apa, Res? Kalau ngeliat kayak gini malah bikin gue gak percaya. Dan bener, gue gak percaya sama apa yang gue lihat sekarang," lirih Yura bersamaan dengan semeter air matanya yang jatuh.

Yura keluar dari balik persembunyiannya. Ia berjalan pelan sambil menatap punggung Kenan dan Seira yang tersenyum sinis padanya bergantian.

"Hai!" sapanya membuat Kenan terdiam.

Kenan melepaskan pelukannya dan berbalik. "Ra?"

"Selamat ya." Tangannya terulur memberi selamat. Meskipun tidak tahu jelas obrolan Kenan dan Seira tadi. Tapi untuk pernyataan 'sayang' itu, suara Seira cukup kuat.

Kenan terdiam menatap tangan Yura. "Selamat atas apa?"

"Selamat atas jadiannya," ucapnya lirih. Hatinya mencelos bukan main.

Sudah keberapa kalinya ini? Tolong beritahu Yura sudah berapa kali. Agar ia tahu berapa banyak kesempatan yang terbuang sia-sia.

Tbc.

TROUBLE MAKER (OPEN PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang