Aureen.
Tentang rasa yang semakin sini semakin pupus...pahit...bahkan sampai hilang rasanya. Gue menegakkan tubuh gue seraya membenarkan letak tidur menjadi duduk –bersandar ke sandaran kasur.
Hari ini gue memimpikan beribu harapan yang singgah namun nyatanya telah hilang. Gue sekarang bangun dan enggan untuk tidur lagi. Takut. Takut harapan itu muncul lagi dan membuat gue sakit.
Beberapa kali Grisha menelepon hanya sekedar menanyakan keadaan gue di apart, mengingat dia bahkan memaksakan buat gak pergi ngantor. Beberapa kali juga gue menolak buat gak usah mikirin gue. Well, ini hanya sakit biasa yang gak harus dihebohin dan membuat Grisha absent di kantornya.
Gue menatap langit-langit kamar dengan air mata yang menumpuk, membuat sang kristal bening itu muak karena sang empunya tubuh menolak untuk mengeluarkannya. Gak ingin berlama-lama terhanyut dalam pikiran gue yang semakin kacau karena rasanya sangat membunuh, gue memberanikan diri untuk keluar kamar, sekedar mencari makanan didapur dan tiduran disofa ruang tengah.
Tapi tetap membuat gue enggan untuk bisa menghentikan pikiran gue yang kalut.
Sekarang, bahkan pikiran gue bertambah menjadi mengingat gimana Gara –sang ketua Team Stuma itu yang menjadi asal usul kenapa gue dan Kinan bisa jadi jauhan kayak gini.
Ting Tong Ting!
Suara bel apartment membuat gue beranjak menatap monitor pintu, melihat siapa tamu yang sore-sore begini datang ke apartment.
"Ibu?" sapa gue menyalami tangannya, Ibu dan Ayah yang melihat gue membukakan pintu itu menatap sedih. Pasti deh ketauan kalau gue lagi sakit...
"Gak usah bohong ya sama Ibu kalau kamu sakit," ucap Ibu setelah gue mempersilahkan mereka buat masuk, menyuguhi teh hangat kesukaan mereka dan ikut duduk diruang tengah.
"Kecapean doang Bu.. Ibu sama Ayah katanya mau ngabarin kalau kesini?" tanya gue.
"Iya nih si Ibu maksa-maksa Ayah pengen ikut, padahal Ayah cuman ke kantor DPR aja bentar," jawab Ayah. Gue tersenyum melihat interaksi pasangan yang sangat gue sayangi ini.
"Nginep ya disini? Kasur aku gede kok... bakal muat bertiga," ajak gue, sedikit dengan nada merajuk. Sekarang gue jadi ngerti kenapa Bunda kemarin-kemarin berlagak seperti itu, karena hari ini aja gue rasanya ingin menangis kalau saja Ibu dan Ayah pulang cepat.
Ibu, sosok yang katanya cerminan seorang Aureen dimasa mudanya itu menatap gue pelan, tatapannya sangat hangat dan penuh kasih sayang. "Mau ikut Ibu pulang ke Bandung?" ajaknya.
Gue mengira tadinya ajakan itu hanya candaan mengingat gue bukan anak kecil yang kalau diajak pasti mau-mau. Semenjak gue kuliah dan gak tinggal bareng mereka, gue sudah terbiasa jauh. Apalagi memang kedua orang tua gue ini kerja di pemerintahan yang mengharuskan mereka buat sibuk dan jarang dirumah. Jadi mungkin karena efek gue yang lagi sakit aja rasanya jati diri gue yang seperti itu lenyap tergantikan oleh gue yang gak mau jauh dari mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reen
Fiksi Remaja(SELESAI) Tentang kehidupan manusia di muka bumi beserta kenangan manis pahitnya. [Hunrene Lokal] ©asreeysi, 2020.