Bagian IX

1.6K 241 69
                                    

Aureen.

Tiga hari setelah memutuskan untuk masuk ke team projek luar –projek Stuma mendatang dibulan depan, gue mengunjungi rumah Bunda dan Ayah, menginap barang satu hari karena ya... mereka juga sudah gue anggap sebagai orang tua sendiri.

Belum lagi memang karena di apart ada Sania yang menginap mengingat dia sedang penelitian di kantor firma dekat komplek apart gue dan Grisha. Jadinya gue gak perlu khawatir kalau Grisha sendirian di unit.

Malam ini, Ayah lembur dan pulang subuh, membuat semalaman gue dan Bunda melakukan banyak hal berdua. Iya, kalau ada Ayah soalnya kita gak bisa begadang.

"Kalau caranya ngefollow tuh ini bukan Je?" tanya Bunda tiba-tiba saat kita siap-siap untuk tidur pukul tiga subuh.

"Mana liat?" tanya gue, "Iya, tuh yang biru pijit aja Bun.." kata gue, padahal gak lihat jelas Bunda lagi follow siapa mengingat gue lagi ngescroll notif diponsel juga.

"Eh kalau ini dikunci bukan sih?" tanyanya lagi.

"Apanya yang dikunci?"

"Ini si profil orangnya dikunci?"

Saat gue mengalihkan pandangan gue ke ponsel Bunda, gue memelotot kaget. "Bunda mau ngapain?" tanya gue.

"Nge­follow,"

"Bun?"

"Ini kan pacar kamu.. Ya Bunda harus tahu dong kesehariannya dia seperti apa?" kata Bunda.

Gue menatap Bunda dari samping, kalau dibanding Ibu yang jarang banget pengen tahu dan mencampuri tentang privasi gue. Bunda ini cenderung kebalikannya. Dia selalu ingin tahu bahkan sampai ke privasi gue sekali pun.

"Gara ini... waktu itu Bunda pernah lihat dia beberapa kali. Waktu itu juga kan memang sedang gempar-gemparnya kasus temannya Ayah, Pak Firdaus itu..." tiba-tiba Bunda berucap sebelum gue menjawab pertanyaannya yang tadi. Kalau masalah follow mem-follow, beliau dilarang pun bakal tetep. Buktinya, profil dengan akun Display Name Gara itu menujukkan menunggu permintaan pertemanan.

"Waktu itu Bunda ngobrol dengan Almarhum Ayahnya, hanya sesekali, tapi cukup membuat Bunda selalu tersenyum kalau inget itu," jelasnya lagi.

Gue ikut menarik kedua ujung bibir gue saat melihat Bunda menceritakan itu dengan wajah melembut. "Katanya dia hanya punya anak laki satu-satunya yang susah cari pacar, dia malah sibuk mengurusi Ayahnya yang sakit itu," Bunda berucap seperti itu sambil membalikkan tubuhnya ke arah gue. Matanya tampak berkaca-kaca dari arah dekat ini.

"Kalau dipikir-pikir kebalikannya dari Bunda ya? Bunda punya anak laki satu-satunya malah sibuk pacaran sampe lupa buat ngurus dirinya sendiri," katanya bercanda. Gue tersenyum menanggapi, melihat Bunda yang sudah meneteskan air matanya.

"Bunda gak apa-apa kok sayang. Jangan merasa Bunda menghalangi kamu buat cari pengganti Raka ya... lain kali ajak Gara kesini, Bunda pengen ngobrol banyak dengan dia,"

Gue hanya tersenyum menanggapi. Gak tahu kenapa juga Bunda mengira ketua Stuma itu sebagai kekasih gue. Bahkan kita baru kenal aja sebulan ini... kenapa Bunda udah mikir kayak gitu?

"Tapi Jeje sama dia cuman sebatas bawahan sama atasan dikantor kok Bun.." jelas gue.

"Tapi firasat Bunda nanti bukan sebatas itu deh, lebih deh lebihin ya jangan sebatas itu..." katanya diselingi tawa mengejek.

ReenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang