Bagian III

1.8K 289 73
                                    

Aureen.

Satu hal yang selalu ingin gue gapai kepada semesta. Apakah dia rela membagi rekamannya untuk gue lihat dan simpan di memori yang bahkan enggan gue hapus walau ingatan gue sudah penuh sampai tua nanti?

Karena gue ingin sekali meminta memori itu. Ingin sekali...

Setelah pulang dari menjenguk Raina yang baru melahirkan bayi laki-lakinya yang lucu. Gue berpamitan dengan yang lain karena sore tadi gue mendapati seseorang menelepon gue dengan suara paraunya.

"Maaf ya.. Ayah emang suka gitu kalau lihat Bunda sakit.." ucapnya setelah gue datang dan memeluknya langsung. Gue juga melihat sosok lelaki setengah paruh baya itu menepuk kepala gue meyakini bahwa gue bisa menenangkan Bunda.

"Kita periksa ya Bun? Jeje anter.." bujuk gue dengan sebutan Jeje. Iya. Jeje adalah panggilan dari seseorang yang empat tahun lalu meninggalkan kita bertiga disini.

"Gak apa-apa, Bunda cuman kecapekan doang kok sayang.." jawab Bunda, padahal badannya panas banget.

Butuh perjuangan dan beberapa kali bujukan sampai akhirnya gue dan Ayah bisa membawa Bunda ke rumah sakit. Dokter yang memeriksa Bunda menyarankan untuk rawat inap mengingat suhu badannya yang terus meningkat, belum lagi Bunda mengalami dehidrasi.

Gue menatap Bunda yang terus memegang tangan gue erat, menyiratkan ia tidak ingin ditinggal. Membuat gue harus sekuat tenaga untuk tidak membiarkan air mata gue ini turun.

Karena sakit banget rasanya... sakit banget Ka, kamu kenapa tega kayak gini sih? Teriak gue dalam hati saat setiap Bunda sakit seperti ini. Sepanjang malam bahkan saat gue naik ke tempat tidur Bunda untuk memeluknya dan tidur bersama, gue merasakan bahu Bunda yang berguncang, suara parau dan seraknya semakin terdengar saat gue yakini bahu gue basah karena Bunda nangis.

Kamu tega banget Ka, udah bikin Bunda nangis tiap ada aku kayak gini..

***

"Kamu gak ke kantor sayang?"

Gue mendengar suara lembut disebrang telefon sana, setelah selesai membeli bubur didepan rumah sakit. "Kayaknya telat Bu.. Bunda gak mau aku tinggalin," jawab gue.

Ibu, sosok yang melahirkan gue saat 24 tahun yang lalu itu mendengarkan penjelasan gue seksama. Mungkin diapun mengerti kenapa Bunda seperti itu.

"Salam ya dari Ibu untuk beliau... Ibu secepatnya ke Jakarta, kamu mau bicara ke Ayah dulu?" tawar Ibu disana. Gue hanya menghela nafas, rasanya ingin segera memeluk tubuh Ibu dan Ayah buat sekedar meredakan apa yang gue rasakan saat ini.

"Gak apa-apa, nanti aja aku telefon lagi. Aku mau pamit dulu buat ke kantor,"

Setelah ucapan salam, gue memutuskan buat meminta izin ke Ayah dan Bundanya Raka. Iya. Mereka berdua adalah orang tua dari sosok lelaki yang empat tahun meninggalkan kita semua. Butuh perjuangan untuk membuat Bunda menyetujui gue untuk pergi dengan alasan gue yang harus balik lagi kesini. Entah mungkin ini sifat aslinya atau bukan, Bunda di saat sakit seperti ini jauh lebih mengutarakan apa-apa yang ia mau dibanding saat sedang sehat.

"Jeje berangkat, Bunda harus banyak minum ya, biar cepet pulang," kata gue sambil memeluk pelan tubuh Bunda yang mengecil ini.

Gue melangkahkan kaki ke mobil di parkiran, membiarkan hati gue damai sebentar untuk sekedar melupakan sejenak rasa yang ingin gue keluarkan sekarang juga. Beberapa kali gue menghela nafas dibelakang kemudi saat gue merasakan ada yang aneh. Iya... ini kenapa mobil gue gak bisa nyala?

ReenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang