*Disclaimer: Adegan yang mengandung kekerasan, mohon untuk tidak dicontoh.
Aureen.
"Ini. Pegang ini," ucap Clarissa saat dua puluh menit kita hening dan berdiri berjauhan antar kasur gue dan dia.
"Ini apa?" tanya gue mengingat dia sekarang memberikan gue sebuah botol yang gue bisa tebak isinya.
Ini obat. Gue gak tahu itu obat apa, karena saat gue ingin bertanya, raut wajah Clarissa mampu membuat gue cemas.
"Kalau gue kambuh, tolong... lo teriak aja, atau lo ke toilet. Kunci dari dalem rapat-rapat," katanya tiba-tiba.
"Lo... mau apa?" bukannya menjawab, Clarissa sekarang malah duduk dilantai. Melihat ke arah gue dari bawah. Lalu tersenyum kecil.
"Lo... mau cerita gak, gimana rasanya punya banyak teman dekat?" tanyanya.
Gue diam, belom menjawab apa yang jadi pertanyaan dia.
"Lo kenapa Sa..." tanya gue. Sebenarnya perasaan gue sekarang sudah gak karuan apalagi saat melihat Clarissa dibawah sana memegang sebuah cutter.
"Gue gak tahu kenapa gue yang sekarang lebih sering kambuh dibanding dulu. Mungkin karena intensitas ketemu gue dengan teman-temannya pacar si Arkan jadi sering? hahahha," dia sekarang tertawa keras.
Keras banget... sampai gue merinding dibuatnya.
"Atau karena lo adalah orang pertama yang berani lawan fisik pada gue?"
Seperti sengatan listrik, ingatan gue menampilkan saat gue menampar Clarissa karena dia nampar Kinan duluan.
Gue menautkan kedua tangan gue, lalu mencoba meraba ponsel yang berada di saku celana saat Clarissa menginterupsi kembali, "Jangan ngeluarin hp, atau gue sayat tangan gue sekarang?" tiba-tiba setelah tertawa, Clarissa berucap pelan sembari nadanya mengancam dan mengacungkan tangannya seolah ingin mengiris lengan.
"Enggak.. stop... lo bisa jauhin itu bisa?" pinta gue.
Srreet...
Telat. Seperti bukan pertama kali, Clarissa menggoreskan benda tajam itu dengan mudah ke lengannya sampai bercucuran darah, membuat gue mengurungkan diri untuk mendekat ke arahnya.
"Ok. Janji. Gue janji gak akan ngeluarin hp," kata gue gusar dengan mata yang tak hentinya melihat ke arah darah yang bercucuran ke lantai.
Clarissa tampak menatap gue lurus. Lalu menyayat lagi tangannya beberapa kali, membuat gue enggan untuk menatapnya lagi.
Berulang kali gue mengatur nafas gue yang sesak saat dia tiba-tiba berdiri dan memajukan dirinya kepada gue.
"Kaget ya liat gue gini?" ucapnya berbisik ditelinga gue.
Bisa gue rasakan bagaimana darah Clarissa yang bercucuran bahkan mengenai kaki gue dibawah.
Sekarang. Jarak gue dan dia bahkan tidak lebih dari satu jengkal saat gue merasakan tangan Clarissa memberikan cutter itu untuk gue.
"Please... Please... lo harus tahu gimana rasanya jadi gue yang udah biasa kayak gini. Lo harus rasain Reen," kini dia tampak lebih agresif. Matanya berkaca-kaca melihat ke arah gue marah.
"Gue gak ngerti kenapa Arkan pacaran sama Grisha disaat selama ini dia hanya ada untuk gue."
"Gue gak ngerti kenapa Arkan... jadi sering ninggalin gue hanya karena Grisha butuh dia."

KAMU SEDANG MEMBACA
Reen
Jugendliteratur(SELESAI) Tentang kehidupan manusia di muka bumi beserta kenangan manis pahitnya. [Hunrene Lokal] ©asreeysi, 2020.