Bagian VIII

1.4K 239 56
                                    

Gara.

Semalam suntuk, gue mendapati diri gue yang diomelin Mami karena pulang-pulang muka udah kayak gak kebentuk. Okey, ini terlalu hiperbola. Tapi, kalau masalah diomelin itu beneran.

Dalam dua puluh enam tahun hidup gue, gue hanya pernah berantem sama mantan pacarnya Ira dulu. Men, Ira pulang-pulang mewek sambil bilang kalau dia dikejar sama penguntit.

Gue saat itu masih SMP, masih bocah dengan emosi yang gak karuan. Saat itu dipikiran gue adalah gue harus bisa balas dendam ke orang yang udah bikin kakak gue itu nangis sampai segitunya. Sampai keesokan harinya gue ikutin Ira ke kuliahan... eh tapi ternyata bukan gue aja yang ikutin dia. Iya. Si penguntit sialan itu yang malah dengan mengira gue penguntit yang lain. Kampret.

Sampai sana... tahu kan akhirnya gimana?

Saat selesai diomeli Mami, bukannya gue tidur, gue malah memikirkan sesuatu yang sangat membuat gue pusing. Berkali-kali gue mengingat-ingat kejadian dua tahun lalu saat Papi sebelum meninggal.

Waktu itu Papi memang sakit paru-paru dan udah parah, tapi tetep dan keukeuh masih pengen kerja. Dalam tiga tahun Papi sakit, gue setiap hari anter jemput Papi di kantor kejaksaan, atau di kantor DPR, mengingat Papi adalah salah satu pengacara yang dikontrak disana juga. Kadang gantian sama Ira atau suaminya mengingat Ira juga seorang Jaksa yang satu kantor dengan Papi.

Namanya Om Tama, dia adalah salah satu pejabat negara yang sangat terkenal. Katanya anaknya meninggal karena sakit jantung. Entah, gue lupa apa yang diberitakan saat itu, karena salah satu client Papi adalah teman dekatnya Om Tama sampai-sampai biaya buat nyewa Papi aja dibayarin beliau. Jadilah... client Papi yang bernama Pak Firdaus itu sering ceritain kebaikan Om Tama pada Papi ataupun gue.

Gue bahkan gak tahu gimana dan siapa Raka anak Om Tama itu, karena waktu gue rutin anter jemput Papi, katanya itu udah tahun kedua Raka meninggal.

Lalu sekarang gue merasa tertampar saat tahu Aureen ternyata kenal dekat dengan Om Tama. Dan apa katanya? Jeje? Siapa Jeje? Aureen ke Jeje... jauh amat?

"Gar... anjing serius aing pagi-pagi gini biasa liat yang kinclong ini malah lo lagi-lo lagi, lo ngapain sih disini?!"

Pagi hari keesokan harinya, gue sudah duduk manis diruangan Bayu. Persetan dia mau ngebacot apa karena sekarang bukan itu urusan gue kesini. Gue dipinta Pak Dimas untuk segera mengkonfirmasi team TCS untuk projek luar mendatang.

"Lo mau ikut projek luar gak sih sebenernya?" tanya gue datar. Gue lagi males ngomong soalnya ni luka masih nyutnyutan.

"Eh –WOI! Lo kenapa monyet itu muka?" teriak Bayu melihat gue. Gue mengernyit saat mendengar dia teriak di pagi hari kayak gini.

"Abis membela kebenaran," jawab gue asal. Gue gak memperindah lagi raut mukanya yang ngeselin sambil ngejek. "Lo mau gajih lo naik gak?" tawar gue.

"Tumben?" tanya Bayu, lelaki itu sekarang lagi sibuk nyalain laptopnya.

"Sebulan lagi kalau lo gak inget projeknya," sindir gue.

Bayu tampak berfikir memandang laptop yang kini memperlihatkan wallpaper screennya. "Nyet... Aureen susah banget gue ajakin, gue ogah banget sumpah kalau yang lain," jelasnya.

"Hah gimana?"

"Aureen, udah gue bilang kan dia 90% bakal nolak gue?"

Oh bentar....

ANJING!

Wkwkwk kok gue baru sadar sesuatu?

Jadi gue sebenarnya salah mengartikan ucapan Bayu saat selesai rapat waktu itu?

ReenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang