36. Mamah?

697 80 13
                                    

.Jangan lupa vote dan komentar!
.
.
.
.
.
@rahma_rohilatul // instagram
.
.
.
.
Happy reading♡

"Mah, mamah kenapa mah?" Aku sangat terkejut saat aku pulang dan melihat mamah sudah terbaring tak berdaya di depan rumah. Dengan banyak darah di tubuhnya. Darah itu berasal dari hidungnya.

Aku ingin menyentuh mamah, ingin memeluknya, ingin membawanya ke rumah sakit dan memberikan pertolongan pertama. Tapi, aku tidak mungkin menyentuh mamah. Karena aku tidak mau diriku mengetahui tanggal kematian mamah. Aku tidak mau. Aku juga tidak mau kehilangan orang yang aku sayang untuk kesekian kalinya. Sudah cukup Kak Gemy, Risa, Mega dan Zilfa. Tidak dengan mamah.

Akhirnya aku memanggil tetanggaku untuk meminta tolong. Untungnya ia tidak berfikiran macam-macam tentang diriku yang tidak langsung membawa mamah ke rumah sakit terdekat. Ia malah berfikiran kalau aku teralu khawatir sehingga tidak bisa membawa mamah ke rumah sakit.

oOo

"Lah lo ada di Rumah Sakit? Ngapain? Lo sakit?" Tanya Audy di seberang. Ya, Audy meneponku ketika aku sedang menunggu mamah di depan ruang IGD.

"Bukan gue, tapi nyokap."

"Oh nyokap lo. Biarin aja sih ngapain di urusin. Emak kaya dia mah gatau diri."

Aku sedih mendengar kata-kata itu dari suara Audy. Ah ralat, aku memang merasa sedih setiap kali ada yang membahas mamah. Sedih sekali rasanya.

Aku memiliki mamah, orang tua tunggalku sekaligus keluargaku satu-satunya. Tapi, rasanya aku tidak memiliki mamah. Aku seperti hidup seorang diri. Mamah tidak pernah berprilaku baik kepadaku. Mamah tidak pernah menganggapku ada. Mamah tisak pernah merasa bersalah atas semua prilakunya kepadaku.

Tapi, aku tetap menyayanginya. Ia satu-satunya motifasiku untuk terus berjuang menjalani hidup yang penuh kutukan ini.

"Eh sorry gue ngga bermaksud nyakitin hati lo."

Aku menghapus air mata yang tanpaku sadari sudah menetes di pipi kiriku. Aku tersenyum singkat seolah-olah ada Audy di depanku.

"Iya ngga apa-apa Dy. Btw, gue minta doanya ya semoga nyokap gue ngga kenapa-kenapa dan cuman kecapean aja."

"Gue selalu doain yang terbaik untuk lo."

Aku tersenyum. Audy Reyna, sosok baik itu memang pantas dijadikan teman dekat. Bukan orang yang munafik dan bermuka dua. Bukan teman-teman yang jahat seperti ketika ada SMP. Tapi sahabag yang benar-benar baik. Sama seperti Risa, Mega dan Zilfa. Meskipun mereka sudah tidak ada.

"Dengan keluarga Ibu Gisel." Aku terkejut saat tiba-tiba perawat keluar dari ruang IGD yang memeriksa kondisi mamah.

"Saya anaknya." Kataku setelah memutuskan sambungan teleponku dengan Audy.

"Ibu Gisel keadaannya sudah membaik. Tapi, ia belum siuman. Mungkin beberapa jam lagi ibu Gisel akan siuman." Kata perawat itu membuatku sangat bersyukur. Untungnya aku tidak akan kehilangan orang yang aku sayangi lagi.

"Oh iya sus, mamah saya sakit apa ya?" Tanyaku yang masih penasaran.

"Mmm kalau soal itu bisa dibicarakan dengan dokternya. Dokter Rafi ada di ruangannya." Kata perawat itu. Aku mengangguk pertanda mengerti. Sangat mengerti.

"Baiklah, saya permisi dulu mau memeriksa pasien lainnya. Semoga lekas sembuh ibunya ya." Kata sang perawat baik hati itu lalu pergi.

Aku segera memasuki ruangan dimana mamahku diperiksa. Aku melihat keadaan mamah yang masih tertidur di atas ranjang rumah sakit. Wajah yang sangat pucat. Tidak seperti biasanya. Kini mamah terbaring lemah.

"Mah, kalau aja aku ngga punya kutukan bisa liat kematian orang, pasti sekarang aku udah meluk mamah." Kataku tak kuasa menahan air mata. Aku hanya bisa menangis di samping tempat tidur dan tak berani menyentuh tangan mamah.

"Maafin Atha ya mah karena ngga bisa nolongin mamah waktu mamah pingsan. Atha malah lagi seru-seruan sama temen-temen Atha." Kataku yang benar benar menyesal. Kalau saja aku tidak menginap di rumah Audy dan pergi ke pantai untuk menghibur Arsena, mamah pasti tidak akan seperti ini. Mamah tidak akan terbaring lemah di ranjang rumah sakit ini.

"Oh iya mah, Atha pergi ke ruangan dokternya dulu ya. Atha mau pastiin kalau mamah baik-baik aja." Kataku melangkah pergi menuju ruangan dokter Rafi yang baru saja memeriksa mamah.

oOo

"Permisi dok."

"Oh masuk. Duduk duduk." Kata dokter Rafi dengan ramah.

"Ada keperluan apa ya?" Tanya dokter Rafi.

"Saya anak dari ibu Gisel. Ibu Gisel ngga kenapa-kenapa kan dok? Mamah saya baik-baik aja kan? Ngga punya penyakit parah?" Tanyaku khawatir.

"Oh. Sebenarnya kami sedang melakukan tes laboratorium untuk memastikan keadaan ibu Gisel. Hasilnya baru keluar lusa." Kata dokter Rafi membuatku panik. Ada hal apa yang membuat mamah harus melakukan tes laboratorium?

"Emangnya mamah saya kenapa sampai harus di tes lab?" Tanyaku panik. Semoga mamah tidak kenapa-kenapa. Semoga mamah baik-baik saja. Ya tuhan, hanya mamah yang kupunya. Jangan membuatnya menderita.

"Saat mamah kamu dilarikan ke rumah sakit, terdapat banyak sekali darah yang bercucuran. Saya khawatir mamah kamu mengidap penyakit berbahaya seperti kanker atau sebagainya." Jelas dokter Rafi yang membuat tubuhnya seketika lemas. Tidak mungkin dan tidak akan. Mamah tidak boleh mengidap penyakit mematikan seperti itu.

"Itu belum jelas kan dok? Mamah ngga mungkin kanker kan dok? Mamah cuman kecapean aja kan? Iya kan dok?"

"Saya belum bisa memberitahu secara jelas karena ini semua memang belum pasti. Kita semua hanya bisa berdoa semoga ibu Gisel baik-baik saja dan perkiraan saya sebelumnya itu salah." Kata dokter Rafi dan tentu saja aku aminkan. Bagaimana pun aku menyayangi mamah. Aku tidak mau mamah menderita penyakit mematikan seperti itu. Mamah tidak boleh mengidap penyakit itu. Tidak boleh!

Ya tuhan semoga saja mamah baik-baik saja. Semoga mamah hanya kecapean karena dirumah seharian penuh. Semoga mamah tidak mengidap penyakit mematikan seperti itu. Ya Allah tolong kabulkan doaku karena hanya mamah satu-satunya orang yang aku punya setelah kak Gemy, Risa, Mega dan Zilfa meninggalkan diriku untuk selama-lamanya.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
TBC?

I'm Normal [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang