21. Broken Home

2.8K 225 9
                                    

"Udah, Re udah!" pinta Ara pada Reano yang tersulut emosi.

Selain waiters itu, ada objek lain yang menjadi perhatian Reano, dimana ia mengenali seorang pria dengan setelan jas lengkap yang sedang menyelesaikan pembayaran di kasir cafe bersama seorang anak sepantarannya.

Mata Reano terus mengikuti langkah pria paruh baya itu hingga keluar cafe. Tangannya terkepal kuat. Rasa marah, kesal, emosi berkali-kali lipat melihat Papanya yang bahagia dengan keluarga barunya tanpa pernah memperdulikan dirinya dan mamanya dulu sampai sekarang.

Lihatlah bagaimana Reano hidup seorang diri di rumah bak istana. Semua itu tak membuatnya bahagia dan senang. Siapa yang beranggapan hidup sendiri itu enak, tanpa kekangan dan selalu bebas? Kalian hanya tidak pernah merasakannya. Reano sudah khatam tinggal sendirian sejak usianya 11 tahun.

Orang tua Reano menikah atas dasar perjodohan. Mungkin sebagian orang merasa tidak cocok, maka dari itu Papa Reano sering meninggalkan rumah sejak Reano menginjak Sekolah Dasar dan duka semakin dalam tatkala Ibunya, Sasnita meninggal dunia karena penyakit yang dideritanya saat Reano baru saja menginjak usia 11 tahun.

Reano pun tahu bahwa Papanya sudah menikah lagi, jauh sebelum ibunya meninggal. Bahkan ia dan Sasnita menyaksikan sendiri pernikahan Papanya dulu. Itulah sebabnya Reano menjadi playboy, ia merasa kesepian. Hidupnya hampa.

Ia pikir dengan dikelilingi banyak gadis hidupnya akan lebih baik dan merasa disegani. Tapi itu hanya sesaat! Hatinya selalu merasa sepi, karena yang selalu ada di dalamnya hanya seorang wanita tulus yang selalu disakiti, yaitu Ibunya.

"Re?" panggil Ara membuyarkan segala pikiran Reano mengenai Papa dan saudara tirinya itu.

Reano menatap Ara dan cekalan pada pergelangan tangannya. Ia tersenyum kemudian melepas tangan Ara dan membawanya kembali duduk.

"Kamu kenapa?" tanya Ara yang melihat perubahan sikap Reano.

Apa sebesar ini pengaruh orang-orang yang menggangunya pada Reano? pikir Ara. Ia tidak tau saja, ada suatu yang lebih berpengaruh.

"Makan dulu, habis itu kita pulang." jawab Reano.

"Dia cuma iseng. Jangan dibunuh, dosa." tukas Ara. Ia cukup tau marahnya Reano adalah marah seorang psikopat. Diam.. senyum.. mematikan. Jadi apa salahnya mengingatkan sebelum waiters itu Almarhum?

"Kamu cenayang ya? Kok tau pikiranku." balasnya sambil tertawa kecil.

"Aku serius, Re. Jangan gitu, cuma masalah sepele." peringat Ara.

"Iya, Sayang. Nggak bakal di bunuh kok, palingan masukin ke rumah sakit aja."

"Re..." rutuk Ara.

"Hehe, yaudah dimakan itu keburu dingin. Aku ngerjain tugas dulu." kata Reano yang langsung berkutat pada laptopnya.

Sebenarnya itu hanya alibi saja, karena Reano masih memikirkan banyak hal. Soal waiters itu? hal mudah. Soal papanya? Nanti saja. Soal saudara tirinya? Ya itu.

Ara juga tidak benar-benar hanyut dalam kegiatan makannya, ia memperhatikan Reano yang berubah. Lebih banyak diam, entah apa yang dipikirkan cowok itu.

"Aku udah selesai makan." ujar Ara setelah menyelesaikan makannya.

"Aku juga udah selesai ngerjain." jawab Reano menutup laptopnya.

"Kamu bisa ngerjain semua?" tanya Ara heran.

"Ini? Nggak ada apa-apanya." balas Reano sombong.

"Tau gitu kamu kerjain sendiri tadi, kenapa ngajak aku?"

Fakboy Kelas SebelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang