Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Malam itu tak seperti biasanya, Hinata merasakan kerongkongannya benar-benar kering, ia sudah menghabiskan satu liter air malam itu. Terjaga dari tidurnya, susah payah dengan perutnya yang sudah membesar ia akhirnya berhasil duduk. Tangannya terulur meraih botol air mineral di atas nakas, akhirnya ia menyadari bahwa botol air yang ia bawa ke kamar sudah kosong.Mau tidak mau Hinata harus bangkit, ia berjalan tertatih sambil membawa botol air kosong berwarna lylac itu. Harusnya ia berjalan begitu saja menuju pintu dapur. Namun entah kenapa kakinya seolah berhenti, tepat di belakang sofa yang selama dua pekan ini menjadi tempat tidur Naruto. Hatinya tergelitik entah perasaan macam apa Hinata begitu penasaran ingin melihat Naruto tidur.
Hinata terperanjat, kendati di bawah temaramnya lampu, ia dapat melihat memar di dahi Naruto, pun sama halnya dengan lengan berotot yang juga dihiasi memar biru. Hampir satu pekan ini Naruto keluar dari rumah dengan dalih pekerjaan sampingan, dan hampir satu pekan ini juga Hinata bisa melihat bekas-bekas luka di wajah ataupun tangan Naruto.
Peduli? Jangan harap karena membuka mulut saja Hinata hanya bicara seperlunya pada Naruto. Tapi melihat luka-luka yang tak sengaja ia lihat, membuat batin Hinata bertanya. Jangankan pekerjaan sampingan, bahkan pekerjaan utama Naruto saja dia tidak mengetahuinya.
Yang ia tahu Naruto bekerja dari setiap hari, di hari Senin sampai Jum'at ia berangkat teramat sangat pagi, lalu menyempatkan diri kembali ke apartement pukul tujuh tiga puluh untuk mengantar dirinya ke kampus pun juga ketika pukul lima tiga puluh sore mobil sederhana Naruto sudah terparkir disana.
'Sebenarnya pekerjaan macam apa yang kau kerjakan, kemana mobil mewahmu, dan mengapa tak pernah ada lagi petugas kebersihan datang ke sini...'
Terlalu banyak tanya yang ingin ia sampaikan pada Naruto, namun ego dan rasa dendamnya pada sang suami, membuatnya hanya mampu memendam rasa penasarannya.
Tanpa ia sadar tangannya bergerak, mengelus rahang tegas itu, ada goresan luka terbuka disana. Sebuah rasa nyeri menghantam batinnya, 'Aku sudah berusaha... Tapi melihatmu terluka seperti ini, kenapa hati ini masih terlalu sakit....'
Hinata berjalan menjauh dari sofa meraih kotak P3K di rak televisi, lalu mengambil kapas dan obat merah, sedikit menunduk, Hinata menuangkan obat merah di kapas tersebut. Susah payah ia berlutut di hadapan sang suami, lalu tangannya mendekat ke arah pelipis Naruto, berniat mengurangi rasa sakit disana dengan mengoleskan obat. Namun sekelebat ingatan masa lalu menyapa otaknya.
"Bertanggung jawab, bukan berarti harus menikahimu..., Aku mengenal salah satu dokter kandungan yang bisa melenyapkannya."
"AKU MOHON NARUTO-KUN, AKU TAK AKAN MENYUSAHKAN MU, LAGI, KU MOHON JANGAN BUNUH ANAKKU!!!"
"Kau membodohiku, hm? Jika kau tak mau dengan cara medis, maka aku sendiri yang akan menariknya...."
Kepala indigonya menggeleng kuat, air mata berderai dari mutiara lavendernya. Kata-kata Naruto yang menolak bahkan berniat melenyapkan kedua buah hatinya terus berputar-putar di kepalanya. Kapas itu terlepas dari tangannya yang bergetar, Hinata terisak pelan, ia urungkan niatnya untuk mengobati sang suami. Tanggannya betumpu pada pegangan sofa, membantunya berdiri dari posisi berlutut di hadapan sang suami.
"Kau pikir semudah itu aku akan menerimamu dalam hidupku kembali..." Hinata berbicara di hadapan Naruto yang ia kira terlelap, pada kenyataannya sejak Hinata menyentuh rahang tegasnya, ia sudah sepenuhnya sadar dan menikmati tiap sentuhan jemari lentik sang istri di tiap jengkal wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Revenge
FanfictionHinata berharap semua ini adalah mimpi, ia ingin segera terjaga, namun semua hal yang ia alami adalah kenyataan... Ia sedang mengandung, ya... Ia sedang mengandung benih dari pria yang paling ia cintai Namun ia dicampakkan, pria itu sama sekali tak...