Chapter 4. Perundingan

1.6K 112 2
                                    

Sebelum baca jangan lupa vote and comment ya🤗 Thank you🤗 Maaf kalau masih ada typo atau kesalahan lainnya karena ini masih tahap ngetik aja, belum self-editing. Semoga kalian suka💓 Ayo dong kasih komen😁 I luh ya💓

"Kita kan baru mengenal di media sosial selama seminggu ini, Mas. Ya walaupun kita bertetangga, tapi kita nggak pernah ngobrol deket, bahkan ngobrol pun nggak pernah. Bukankah terlalu cepat? Kamu belum terlalu mengenalku. Apa alasan kamu jatuh cinta sama aku?" balas Safina.

"Kalau aku punya alasan, itu namanya bukan cinta," jawab Bagus singkat.

Jawaban singkat itu mampu membuat Safina tersenyum. Dulu setiap lelaki yang mendekatinya selalu mengatakan alasan mencintainya, seperti karena kecantikannya atau sifatnya, tetapi Bagus berbeda. Memang seperti itu pula definisi cinta menurutnya, tanpa alasan.

"Memintaku menjadi milikmu lebih dari sekadar ungkapan aku mencintaimu. Kalau Mas memang serius, katakan itu di depan orang tuaku. Aku udah nggak mau sakit hati lagi, Mas. Jadi kalau Mas cuma mau main-main, Mas bisa batalkan niat Mas. Aku cuma butuh laki-laki serius yang bisa setia sama aku."

"Baiklah, Mbak. Aku serius. Usiaku juga udah nggak muda lagi. Udah bukan waktunya main-main. Kalau diizinkan, akhir tahun nanti aku siap menemui orang tua Mbak. Maaf aku baru bisa akhir tahun nanti karena aku cuma ada cuti akhir tahun dan lebaran, Mbak."

Safina terperangah membaca jawaban Bagus. Biasanya lelaki yang ditantang seperti itu akan langsung mundur dan berhenti mendekatinya, tetapi sepertinya Bagus memang benar-benar serius padanya. Namun dia bingung karena sebenarnya dirinya belum ingin menikah.

"Maaf Mas, gimana ya. Aku bingung. Sebenarnya aku belum pengin nikah. Apalagi usiaku masih 22 tahun. Aku pengin nikah kalau usiaku sudah di atas 23 tahun."

"Kalau Mbak masih ragu, Mbak pikirkan dulu. Kalau sudah yakin, Mbak bisa kasih tahu aku."

"Iya, Mas. Aku akan segera ngasih jawaban."

"Iya, Mbak. Aku siap nunggu, Mbak."

Safina menghela napas. Hatinya dipenuhi kebimbangan. Dia pun berusaha melupakan masalah itu sejenak dan segera menuju ke tempat bimbel.

Selama mengajar, Safina tidak bisa fokus. Beberapa kali dia melamun.

"Miss, gimana jawaban pertanyaan saya? Kok bengong, Miss?" tanya salah satu murid Safina.

Safina segera mengucap istighfar.

"Maaf ya, Dek. Miss jadi nggak fokus. Gimana pertanyaannya tadi?"

"Kalau subjeknya misalnya Sila and Selvi, to be-nya pake apa, Miss?"

"Pake are. Kemarin kan miss sudah jelasin kalau subjeknya jamak, yaitu lebih dari satu, berarti to be-nya pakai are. Kalau dalam pronoun dua orang itu jadinya they. To be-nya they kan pakai are."

"Oh iya ya. Maaf Miss, aku lupa. Thank you, Miss."

"Anytime, sayang."

Safina tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Pikirannya benar-benar kacau.

Ketika selesai mengajar, Safina bergegas pulang dan menemui orang tuanya. Dia tidak ingin terus dihantui rasa bimbang. Kebetulan saat itu orang tua dan kakaknya sedang berkumpul menonton televisi.

"Ibu, Ayah, Kakak, Safina mau ngomong penting." Safina membuka percakapan. Dia terus meremas tangannya yang berkeringat.

"Ngomong apa, sayang? Kok kayanya tegang gitu. Kamu ada masalah?" sahut ibunya.

"Emm... Sebenarnya ada orang yang mau melamar Safina."

Mereka semua tergemap. Sang ibu langsung berpindah tempat duduk di samping putri bungsunya itu.

"Siapa, Nak? Tumben kamu nggak cerita ke ibu kalau lagi deket sama laki-laki."

"Apa kamu balikan lagi sama mantan kamu yang siapa itu namanya, Tomi iya Tomi?" tanya ayah Safina.

"Enggak kok, Yah, Bu. Safina nggak balikan sama mantan. Safina juga bukannya nggak mau cerita, tapi emang Safina nggak deket sama dia. Dia tiba-tiba ngajak Safina nikah. Kayanya dia beneran serius. Malahan kalau Safina mau, dia mau ketemu sama Ayah akhir tahun nanti."

"Orang yang kamu ceritain kemarin, Saf?" tanya Ayla.

"Lho kamu tahu? Siapa sih orangnya? Ibu penasaran."

"Tetangga kita, Bu. Bagus, anaknya Bu Mirna. Maaf ya, Saf. Kakak jawab duluan. Kamu sih kelamaan ngomongnya."

"Bener itu, Nak?"

"I--iya, Yah."

"Ayah aja nggak pernah dia lewat sini. Gimana kalian bisa deket? Sejak kapan?"

"Ayah ni kaya nggak tahu anak jaman sekarang aja. Pasti lewat HP, kan?"

"Iya, Bu."

"Enak ya jaman sekarang. Lewat HP aja udah bisa dapet jodoh. Dulu ayah aja harus nyamperin ke rumah ibu kamu terus sampai berulang kali baru ibumu itu mau diajak jalan. Udah rumahnya jauh, sok jual mahal lagi."

Safina dan Ayla tertawa mendengar sang ayah menceritakan proses pendekatannya dengan ibu mereka.

"Sekarang ayah mau tanya sama kamu. Kamu sendiri cinta nggak sama Bagus?" lanjut ayahnya.

"Kalau cinta ya belom, Yah. Kan baru chat beberapa kali. Safina cuma kagum aja sama dia. Dia kelihatannya sopan dan penyayang. Safina juga banyak denger soal Mas Bagus dari ibunya."

"Nak, ayah sama ibu itu nggak mau jadi orang tua yang memaksakan kehendak anaknya. Apalagi untuk urusan jodoh. Kami cuma mau membimbing dan mengarahkan kamu. Keputusan ada di tangan kamu."

"Jadi kalau misalnya Safina nerima Mas Bagus, Ayah sama Ibu akan merestui?"

"Tentu saja, sayang. Apapun yang terbaik menurut kamu, pasti akan kami dukung."

"Ayah kamu benar, Nak. Ibu akan dukung apapun keputusan kamu. Walaupun sebenarnya ibu masih belum ikhlas melepaskan kamu. Ya kamu tahu sendiri kan Bagus kerjanya di Bekasi. Kalau kamu menikah sama dia otomatis kamu akan ikut dia ke sana."

"Bu, nggak usah khawatir soal itu. Walaupun jauh, Safina nggak akan lupain kalian dan Safina pasti akan sering-sering pulang ke Lampung. Jadi ini nggak ada yang keberatan kalau Safina nikah muda?"

"Kenapa harus keberatan? Berhasil atau tidaknya suatu pernikahan itu bukan dari berapa umur kamu saat menikah, tetapi bagaimana kedua pihak bisa memaknai pernikahan itu sendiri dan berjuang mempertahankannya. Lagian dulu ayah sama ibu juga nikah muda. Malah dulu umur ibu kamu masih 17 tahun."

"Ayah sama Ibu nggak keberatan. Kalau Kakak gimana? Dari tadi diem aja."

"Gimana ya. Jujur kakak kurang setuju. Kalian kan belum saling kenal. Kamu belum tahu sepenuhnya tentang dia. Kakak takut. Kakak cuma nggak mau adik kakak satu-satunya disakiti orang lain."

"Kakak nggak usah khawatir ya. Safina akan cari tahu tentang dia dulu. Setelah itu baru Safina akan mengambil keputusan. Lagian sekarang kan banyak yang langsung nikah tanpa pacaran, tapi rumah tangganya juga baik-baik aja, kan? Perkenalan itu bisa dilakukan setelah nikah."

"Ya udah kalau itu emang udah keputusan kamu. Beneran ya kamu harus cari tahu tentang dia dulu?"

"Iya, Kak. Alhamdulillah aku lega denger jawaban kalian semua."

"Semoga apapun keputusan yang kamu ambil nanti, itu yang terbaik buat kamu."

"Aamiin, Bu."

Aku Bukan Pelakor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang