Tangisan Marya semakin menjadi. Perlahan dia mengangkat kepalanya dan menatap kedua bola mata Bagus.
"Mas, a-aku nggak bisa hamil."
Bagus terbelalak. Dia melepas genggaman tangannya. "Sayang, kamu ngomong apa sih? Jangan bercanda yang aneh-aneh deh."
"Aku serius, Mas. Aku udah tes kesuburan waktu itu, terus aku ambil hasilnya waktu aku pulang dari puncak. Hasilnya aku nggak bisa hamil, Mas. Kamu bisa baca sendiri hasilnya di laci meja kamarku."
"Sayang, dokter itu bukan Tuhan yang bisa menentukan kita bisa punya anak atau nggak. Kita harus terus berusaha. Aku yakin akan ada keajaiban."
"Enggak, Mas. Aku nggak akan bisa ngasih kamu keturunan. Kamu pasti akan benci sama aku. Kamu pasti akan ninggalin aku dan semakin sayang sama Safina, kan?"
Bagus kembali menggenggam tangan Marya. "Itu nggak akan terjadi. Aku akan tetap menyayangi kamu. Udah kamu jangan nangis lagi, ya."
Bagus memeluk Marya, membuat wanita itu sedikit lebih tenang. Setelah itu Bagus menghampiri Safina yang pura-pura sibuk bermain ponsel di kamar usai mendengar percakapan Bagus dan Marya secara diam-diam.
"Mas, ada apa? Kamu bukannya mau berangkat kerja? Udah habis maghrib lho. Nanti kamu telat."
"Bentar, sayang. Ada yang mau aku omongin."
"Apa, Mas?"
Bagus menarik tangan Safina dan mengajaknya duduk. Lalu dia menceritakan tentang Marya yang tidak bisa hamil. Safina pun terkesiap.
"Ya ampun, kasihan banget Mbak Marya. Mas, kamu harus sering-sering menghibur dia. Aku tau dia pasti sedih banget."
"Sayang, karena Marya nggak bisa hamil, aku mau kamu segera hamil. Aku pengin cepet-cepet punya anak."
"Mas, kok kamu gitu sih? Istri lagi sedih bukannya dihibur. Ini malah nyuruh istri yang lain hamil."
"Aku tuh pengin di rumah ini ada suara baby. Aku punya ide. Keadaan ini bisa aku jadikan alasan untuk menceraikan Marya. Aku udah lama banget pengin nyeraiin dia. Aku udah nggak tahan sama sikapnya."
"Apa? Cerai? Enggak, Mas. Jangan."
"Sayangku, aku itu maunya istriku cuma kamu. Aku nggak mau punya istri boros dan manja kaya Marya. Aku stres. Ini kesempatanku untuk nyeraiin Marya."
"Tega ya kamu, Mas. Kamu malah mau ninggalin dia saat dia kaya gini. Udah kamu keluar, Mas. Cepet berangkat kerja. Aku nggak mau denger kamu ngomong kaya gitu lagi." Safina mendorong Bagus keluar dari kamarnya.
Dari jendela kamarnya, Safina menunggu Bagus berangkat. Begitu terlihat Bagus sudah naik motor dan pergi, Safina segera keluar kamar dan menuju kamar Marya. Ketika itu Marya sedang merenung di tempat tidurnya.
"Assalamualaikum." Safina mengetuk pintu kamar Marya.
"Waalaikumsalam. Masuk aja."
Safina masuk dan duduk di samping Marya. Dia disambut oleh tatapan tajam Marya.
"Mau ngapain kamu? Oh aku tau. Kamu pasti mau ketawa di depan aku, kan? Mas Bagus udah ngasih tau semuanya, kan? Jangan seneng dulu kamu. Mas Bagus nggak akan ninggalin aku apa pun yang terjadi."
"Ya, aku emang udah tau semuanya. Kamu yakin Mas Bagus nggak akan ninggalin kamu?"
"Aku sama Mas Bagus udah saling mencintai sejak lama sebelum ada kamu dan dia akan selalu mencintai aku."
"Oh ya? Kalau gitu kamu harus denger ini."
Safina mengeluarkan ponsel dari sakunya dan memutar rekaman suara Bagus yang tadi berbicara dengan dirinya mengenai rencananya menceraikan Marya. Tentu saja hal itu membuat Marya terkejut.
Marya menggeleng. "Itu nggak mungkin! Mas Bagus nggak akan nglakuin itu!"
"Kamu udah denger sendiri kan apa yang dia omongin? Dia itu udah muak sama kelakuan kamu. Bukan karena kamu nggak bisa hamil. Itu cuma dia jadiin alasan buat menceraikan kamu. Sekarang kamu siap-siap aja buat pisah sama Mas Bagus."
"Heh pelakor! Aku nggak akan mungkin diceraiin sama Mas Bagus. Keluar kamu! Aku nggak percaya sama kamu!"
Safina mengulas senyuman kecil. Lalu dia keluar dari kamar Marya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bukan Pelakor [END]
Roman d'amourDisaat hati ingin menyepi, datang sosok tak terduga yang datang meminang diri. Meski tanpa diawali jatuh cinta, pernikahan Safina terasa sempurna dengan sosok suami yang perhatian dan penuh kasih sayang. Namun, setelah rahasia besar suaminya terkuak...