"Kamu siapa?"
Sebuah kalimat yang keluar pertama kali dari bibir Safina membuat Bagus terkejut.
"Ke-kenapa kamu nanya gitu? Apa kamu nggak tahu siapa aku?"
Safina menggelengkan kepalanya. Bagus pun menepis tangan Safina dan berlari keluar memanggil dokter.
"Dok, tolong periksa istri saya. Dokter, kenapa dia nggak inget saya, Dok?"
"Tenang, Pak. Biar saya periksa dulu."
Beberapa menit kemudian, dokter keluar dengan wajah masam.
"Ada apa, Dokter?" Bagus begitu khawatir.
"Seperti yang saya sampaikan sebelumnya. Dugaan saya benar. Dia mengalami amnesia. Saya sudah mencoba bertanya pada pasien dan dia terlihat bingung. Dia tidak bisa mengingat apa pun tentang masa lalunya bahkan dia tidak ingat siapa dirinya."
"Apa?! Enggak. Kenapa dia bisa seperti ini, Dok? Istri saya bisa sembuh kan, Dok? Dia bisa ingat saya lagi, kan?"
"Tenang, Pak. Ini hanya amnesia sementara. Ingatannya akan segera kembali, tapi saya tidak bisa memastikan kapan itu akan terjadi. Yang perlu Anda lakukan adalah membantunya untuk berusaha mengingat masa lalunya, tapi pelan-pelan saja, Pak. Kondisinya masih sangat lemah. Usahakan jangan sampai pasien stres, terutama dalam tiga bulan ke depan. Kalau tidak, akibatnya akan buruk."
"Baik, Dok. Terima kasih."
Bagus kini merasa bimbang. Dia bingung harus senang atau sedih. Di satu sisi dia sedih dengan kondisi Safina yang seperti ini, tapi di sisi lain dia juga bersyukur karena itu artinya dia bisa menjalankan rencananya dan Marya. Dia bisa mempertahankan rumah tangganya dengan Safina dan tentu saja Safina tidak akan membencinya lagi.
Bagus melangkahkan kakinya secara perlahan. Dia meneteskan air mata melihat istrinya yang tampak bingung menatap sekelilingnya. Begitu Bagus mendekat, Safina mulai memandangnya dengan serius seperti tadi.
"Maaf, Mas. Apa Mas kenal saya? Kenapa saya nggak ingat apa-apa? Saya ini siapa? Mas tadi ada di samping saya waktu saya bangun. Mas pasti tahu siapa saya. Tolong bilang apa yang terjadi. Kenapa saya sama sekali nggak ingat apa pun?"
Bagus langsung mendekap Safina yang mulai menangis kebingungan.
"Tenang, sayang. Aku adalah suami kamu. Kamu jangan takut. Aku ada di sini. Aku akan selalu ada buat kamu. Aku janji, kamu akan segera inget semuanya. Sabar ya."
Safina melepaskan pelukan erat itu. "Suami? Saya sudah menikah? Tapi kenapa saya nggak inget kamu?"
"Iya, sayang. Kita menikah tiga bulan lalu. Nama kamu Safina dan aku Bagus, suami kamu. Kamu baru aja mengalami kecelakaan, jadi kamu kehilangan ingatan kamu, tapi itu cuma sementara. Kamu akan segera ingat semuanya."
"Ka-kamu nggak bo-bohong kan?"
"Enggak, sayang. Ini cincin pernikahan kita."
Bagus menunjukkan cincin yang terukir nama mereka di jarinya dan jari Safina. Melihat itu Safina hanya diam tanpa kata.
"Kamu istirahat dulu ya. Kondisi kamu masih belum baik. Nanti kalau kamu udah sehat, udah boleh pulang, aku akan bantu kamu mengingat semuanya."
Safina mengangguk dengan ragu. Bagus mengelus kening Safina sembari memberi tatapan hangat dengan senyuman penuh cinta, membuat Safina merasa tenang dan secara perlahan memejamkan mata. Tak lama Safina pun tertidur. Sementara Bagus kembali dihantui rasa bersalah karena sebentar lagi dia harus mulai membohongi istrinya dengan drama yang dia ciptakan.
**
Malam itu setelah pulang ke rumah sebentar, Bagus kembali lagi ke rumah sakit bersama Marya. Karena menurut dokter keadaan Safina sudah mulai membaik, jadi dia bisa lebih lama mengobrol dengan istri yang sangat dirindukannya itu.
Safina tertegun menatap dua orang asing yang ada di hadapannya.
Bagus mendekat dan mengusap kening Safina. "Sayangku, gimana keadaan kamu? Udah lebih baik, kan?"
Safina hanya mengangguk.
"Syukurlah kalau begitu. Aku mau ngenalin seseorang ke kamu." Bagus menggandeng tangan Marya, membawanya mendekati Safina.
"Dia siapa?"
"Dia Marya. Dia juga istriku."
Mendengar itu Safina tercengang. "Bukannya kamu bilang aku istri kamu?"
"Sayang, kamu tenang ya. Sebelum kecelakaan kamu udah tahu semuanya kok. Dia istri pertamaku dan kamu istri keduaku. Sebelum kamu kecelakaan, kita bertiga baik-baik aja. Jadi setelah sembuh nanti kamu juga harus menjalani hidup kamu seperti dulu, sebagai istri keduaku dan kamu juga harus akur sama Marya.
Dahi Safina berkerut seperti tidak percaya.
"Kalian pasti bohong!" Safina menentang pernyataan Bagus setelah berpikir beberapa saat.
Marya mulai menggenggam tangan Safina dan mengulas senyuman ramah.
"Safina, apa yang dikatakan Bagus itu benar. Kita dari dulu sudah menjalani kehidupan sebagai istrinya Mas Bagus dan kita rukun-rukun aja. Aku aja sebagai istri pertama bisa menerima kamu sebagai maduku. Apa kamu nggak bisa menerima aku sebagai istri pertamanya Mas Bagus? Aku itu sudah menganggap kamu seperti adikku sendiri. Aku sama Mas Bagus setiap hari jagain kamu di sini, nunggu kamu sadar. Masa begitu sadar kamu malah bersikap kaya gini?"
"Apa mungkin aku dulu mau jadi istri kedua? Kenapa kayanya aku nggak suka denger kata-kata itu. Aku seperti nggak suka dimadu."
"Safina, wajar kalau sekarang kamu berpikir seperti itu karena kamu nggak inget apa yang udah terjadi. Dokter bilang kamu nggak boleh stres dulu. Jadi kamu jangan banyak berpikir ya. Apa pun yang udah terjadi, itu udah masa lalu. Nanti kamu juga akan inget lagi. Yang penting kita bertiga sudah menjadi keluarga bahagia. Jangan sampai gara-gara kecelakaan kamu jadi berubah."
"Maaf, aku udah meragukan kalian. Sekarang aku akan coba untuk percaya. Insya allah aku akan mulai membiasakan diri. Kalian juga tolong bantu aku biar aku bisa inget semuanya lagi."
"Iya, Safina. Kamu tenang aja. Aku dan Mas Bagus akan bantu mulihin ingatan kamu."
Bagus dan Marya saling bertatap dan tersenyum. Mereka senang karena akhirnya berhasil meyakinkan Safina dengan cerita bohong mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bukan Pelakor [END]
RomanceDisaat hati ingin menyepi, datang sosok tak terduga yang datang meminang diri. Meski tanpa diawali jatuh cinta, pernikahan Safina terasa sempurna dengan sosok suami yang perhatian dan penuh kasih sayang. Namun, setelah rahasia besar suaminya terkuak...