Chapter 8. Sah

2K 108 0
                                    

Usai kecelakaan yang menimpa Bagus, Safina menjadi lebih protektif. Dia selalu menanyakan kabar Bagus setiap harinya. Beruntungnya Bagus begitu pengertian sehingga dia pun selalu berpamitan kepada Safina sebelum berangkat kerja dan mengabari ketika pulang kerja sampai Safina hafal jadwal shift Bagus. Namun hanya sekadar saling mengabari itulah isi pesan mereka karena mereka sepakat untuk membatasi komunikasi mereka sebelum resmi dengan status halal.

Berbulan-bulan menantikan hari bahagia, kini tibalah saatnya. 28 Desember 2018, hari di mana Safina dan Bagus akan mengikat janji suci.

"Saya terima nikahnya Safina Laudia binti Farhan Ardiansyah dengan mas kawin seperangkat alat salat dan uang senilai 11 juta rupiah dibayar tunai."

"Bagaimana para saksi?"

"Sah..."

Akhirnya akad berjalan dengan lancar. Safina yang sejak tadi memandangi Bagus ketika menjabat tangan ayahnya dalam ijab kabul kini bisa mencium tangan lelaki yang telah sah menjadi suaminya itu. Bagus pun memasangkan cincin di jari manis Safina dan mendaratkan ciuman penuh cinta di keningnya. Safina pun menangis haru. Apalagi saat berjabat tangan dan memeluk kedua orang tuanya.

Di hari bahagia itu, Safina tampil cantik mengenakan kebaya modern lengkap dengan hijab syar'i jahitan kakaknya. Orang tua dan kakak Safina pun mengenakan kebaya dengan warna senada, yaitu biru. Dekorasi dengan tema doraemon juga telah terpajang di depan rumah Safina. Serangkaian prosesi pernikahan adat Jawa pun dilalui Safina dan Bagus dengan rasa bahagia. Mereka juga terus memancarkan senyum bahagia saat berjabat tangan dengan para tamu undangan yang hadir.

Malamnya setelah acara selesai, Safina dan Bagus langsung merebahkan diri mereka di tempat tidur. Namun mereka masih saling menjaga jarak. Bagus memiringkan tubuhnya, menatap wanita cantik yang ada di depannya yang kini telah resmi dipersuntingnya.

"Kenapa, Mas? Aku jelek ya dandan gini?" tanya Safina sambil memalingkan wajahnya.

"Kapan sih kamu jelek? Kamu itu selalu cantik. Alhamdulillah. Akhirnya sekarang aku bisa memandang kamu dengan halal. Mulai hari ini aku bisa melihat kamu ada di sampingku sebelum tidur dan bangun tidur. Aku bersyukur banget diberi istri secantik dan sesholehah kamu."

Pipi Safina memerah. Dia perlahan memutar bola matanya menghadap Bagus.

"Aku juga bersyukur Allah secepat ini ngasih aku jodoh, orang yang nggak pernah aku sangka-sangka. Sekarang jangan panggil aku mbak lagi ya, Mas?"

"Ya enggak dong. Sebenarnya udah terbiasa mbak sih. Oke deh mulai sekarang aku panggil sayang, istriku, atau ibu negara. Terserah aku ya?"

Safina mengangguk sambil tersenyum.

Mereka pun duduk dan saling memandang lagi.

"Kamu nggak malu punya istri kaya aku, Mas?"

"Malu kenapa?"

"Badan aku mungil, kulit aku nggak putih, aku banyak kurangnya. Nanti kalau jalan sama aku dikira jalan sama anaknya lagi."

"Ya harusnya kamu yang malu punya suami gendut, gede. Baby face dapetnya yang wajahnya boros kaya aku."

"Kata siapa kamu gendut? Cuma perut kamu aja yang gede tuh."

"Biarin. Biar nanti kalau kamu hamil perut kita bisa samaan."

Safina tertawa mendengar ucapan Bagus.

"Kita kan udah nikah, jadi harus bisa saling menerima kekurangan masing-masing, sayangku."

"Iya, Mas. By the way, lucu tau denger kamu manggil aku gitu. Malah geli dengernya. Udah biasa denger kamu panggil aku mbak."

"Nanti kan lama-lama terbiasa. Oh ya, kita kan nikahnya tanpa pacaran. Ketemu aja enggak. Aku yakin kamu butuh waktu untuk bisa mengenal aku dan membiasakan diri sama aku. Jadi aku juga nggak akan maksa kamu untuk menjalankan kewajiban kamu sebagai istri. Aku akan tunggu sampai kamu siap."

"Makasih ya, Mas. Aku nggak salah pilih kamu. Kamu baik dan sangat pengertian. Besok malam insya allah aku siap. Bagaimanapun kita harus menjalankan segala kewajiban kita sebagai suami istri. Lagipula aku sudah sepenuhnya menerima kamu sebagai suamiku dan aku menerimanya dengan ikhlas."

"Soal perasaan kamu gimana?"

"Aku sudah jatuh cinta sejak pertama kali memandang kamu ketika kamu menjabat tangan ayah. Kamu sendiri?"

"Dari sejak pertama kali aku ngechat kamu aku udah jatuh cinta."

"Mas, angka 2 itu istimewa ya buat kita. Kamu nge-chat mau ngelamar aku itu di tanggal 22 Juli. Acara lamaran kita 29 Juli. Sekarang kita menikah tanggal 28 Desember di usia aku yang udah 20 tahun dan kamu 22 tahun."

"Hafal banget sih kamu. Iya juga ya. Skenario indah Allah itu emang luar biasa. Ya udah, tidur yuk. Kamu pasti capek. Lagian besok masih ada resepsi lagi di rumah aku."

"Iya, Mas. Aku ganti baju dulu. Kamu tutup mata ya."

"Siap, ibu negara!"

Safina dan Bagus pun bergantian menutup mata ketika salah satunya berganti pakaian. Setelah itu mereka bersiap untuk tidur. Mereka saling memunggungi. Namun masing-masing saling tersenyum memikirkan malam pertama mereka yang aneh.

Aku Bukan Pelakor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang