Chapter 42. Sandiwara Dibalik Sandiwara

3.4K 144 2
                                    

Nih yg nanyain di mana Ayla😁 Cerdik kan duo kakak beradik ini😁 Iya dong kalau dibohongi sama buaya ya wanita harus jauh lebih cerdik. Jangan mau menyia-nyiakan air mata untuk seseorang yg ga pantes kita cintai dan kita tangisi.

**

FLASHBACK ON

Malam itu setelah Bagus dan Marya pergi bekerja, seorang wanita berhijab berjalan mendekati rumah Safina. Dia mengetuk pintu beberapa kali hingga Safina membukakan pintu dan menarik wanita itu masuk.

“Kak Ayla. Ngapain malem-malem ke sini? Untung aja Mas Bagus sama Mbak Marya lagi pergi. Sini duduk, Kak.”

Ayla tersenyum. “Kakak emang sengaja dateng karena tau ini jadwal shift malamnya Bagus dan Marya. Kakak kangen banget sama kamu.”

Ayla memeluk Safina erat. Namun, Safina berusaha melepaskan diri.

“Kak, Mas Bagus itu sangat perhatian sama aku. Apa bener dibalik itu dia jahat? Dia tega nyakitin aku?”

“Saf, kamu jangan terperdaya sama sikap manisnya Bagus dan Marya. Itu semua palsu. Waktu kamu pura-pura masih koma, kamu denger sendiri kan apa yang Bagus dan Marya omongin? Setelah itu, saat kamu sadar, apa yang mereka omongin itu beda. Mereka itu emang jago sandiwara, tapi kamu harus lebih cerdik dari mereka.”

“Maksudnya aku harus sandiwara juga? Kita mau bikin kebohongan apa lagi, Kak? Sebelumnya kita udah kerja sama sama dokter buat nggak ngasih tau Mas Bagus kalau aku udah sadar dari koma. Sekarang mau apa lagi?”

“Kamu ini kenapa, Safina? Kamu masih ragu dengan apa yang Kakak ceritain, bahkan setelah kamu denger sendiri apa yang dikatakan Bagus? Kalau gitu kamu harus denger ini.” Ayla memberikan ponselnya.

“Apa?”

“Itu rekaman suara kamu waktu kamu nelpon kakak. Kamu nangis-nangis dan nyeritain soal Bagus. Waktu denger kamu nangis, kakak pikir kamu mengalami KDRT. Jadi kakak rekam sebagai bukti untuk melapor ke polisi, tapi ternyata kamu cerita soal perselingkuhan Bagus. Kamu bisa denger sendiri betapa sedih dan kecewanya kamu saat itu, betapa sebenarnya kamu sangat mencintai suami kamu, tapi dia dengan tega membohongi kamu.”

Safina mengikuti titah kakaknya. Dia mendengarkan rekaman itu. Sejenak dia berpikir.

“Jadi semua yang Kakak bilang itu bener? Dulu aku sesedih ini. Dulu aku pasti sangat mencintai Mas Bagus, makanya sekarang pun aku nggak tega buat berbalik nyakitin dia.”

“Kamu hanya perlu bikin rencana kecil buat ngasih pelajaran ke mereka biar mereka itu jera. Kalau kamu lemah, mereka akan semakin menertawakan kamu. Apalagi mereka taunya kamu percaya sama sandiwara mereka.”

“Oke. Aku setuju, Kak. Kalau Safina yang dulu lemah dan cuma bisa nangis ketika disakiti laki-laki nggak punya hati itu, maka sekarang Safina terlahir kembali menjadi wanita yang kuat.”

“Akhirnya kamu setuju juga, tapi kakak belum punya rencana apa-apa. Mungkin nanti kita bisa atur waktu buat ketemu lagi dan ngomongin ini.”

“Tenang, Kak. Sekarang pun bisa karena aku udah punya rencana.”

“Apa, Saf?”

Safina berjalan mendekati foto pernikahannya dengan Bagus yang ditempel di dinding, bersebelahan dengan foto pernikahan Bagus dan Marya.

“Aku akan ikuti permainan mereka. Aku akan pura-pura nggak tau apa-apa dan percaya dengan apa pun perkataan mereka. Aku akan kembali jadi Safina yang sangat mencintai suaminya. Baru setelah ingatan aku kembali, aku akan menggugat cerai dia. Itu aja udah cukup. Aku nggak perlu melakukan rencana jahat apa pun karena aku nggak punya hati sejahat mereka, Kak. Aku tau walaupun Mas Bagus menduakan aku, dia itu sangat mencintai aku. Pasti akan sangat menyakitkan kehilangan istri yang dia cintai setelah kemesraan dan keharmonisan yang tercipta setiap hari, seperti rasa sakit yang mungkin dulu aku rasain saat tau dia punya wanita lain.”

“Terus wanita itu? Kamu mau biarin Marya bahagia dan nggak nglakuin apa-apa buat bales perbuatan dia?”

“Enggak. Aku yakin Allah punya rencana sendiri untuk membalas apa yang udah Mbak Marya lakuin. Aku cuma akan bikin dia cemburu dengan kemesraan aku dan Mas Bagus sampai dia sadar bahwa keputusan dia untuk menciptakan semua sandiwara ini salah.”

“Tapi kalau dia berani nyakitin kamu, kamu harus berani bersikap tegas, Saf. Jangan lemah dan mengalah gitu aja.”

“Pasti, Kak.”

“Oh ya, tadi kamu bilang kamu baru akan menggugat cerai Bagus saat ingatan kamu udah kembali. Gimana kalau itu masih lama dan kamu perlahan jatuh cinta lagi sama dia? Kakak takut, Saf. Bagus itu pinter merayu wanita dengan sikap lembutnya dia. Waktu kamu nikah sama dia aja kamu belum ada perasaan apa-apa, tapi nggak butuh waktu lama kamu udah bisa jatuh hati dan bahkan sangat takut kehilangan dia.”

“Aku akan berusaha agar itu nggak terjadi, Kak. Kalaupun aku jatuh cinta sama dia lagi, aku tetap nggak akan mengubah rencanaku karena Safina nggak akan bisa menerima perselingkuhan. Kakak tolong bantu aku buat bisa segera mengingat masa laluku, ya? Aku juga akan berusaha dengan mencari benda-benda di rumah ini yang bisa mengingatkan aku dengan masa laluku dan Mas Bagus.”

“Iya, Saf. Kamu telpon kakak aja kalau pas Bagus sama Marya pergi. Kakak akan jemput kamu dan akan ceritain tentang masa lalu kamu. Apalagi di HP kakak juga banyak foto-foto kita, ibu, ayah, dan banyak orang lainnya yang bisa membantu memulihkan ingatan kamu.”

“Makasih, Kak. Semoga aja aku bisa segera ingat karena aku nggak mau lama-lama hidup dengan laki-laki itu.”

“Aamiin. Bagus itu bener-bener licik! Dia sengaja ngajak kamu pindah ke sini pasti karena dia takut ingatan kamu akan cepet kembali kalau kalian tinggal di rumah lama kalian.”

“Lho, jadi ini bukan rumah aku dan Mas Bagus yang sebenarnya?”

“Bukan. Kamu beberapa kali ngirim foto rumah kamu ke kakak, juga alamat lengkapnya dan bukan ini rumahnya. Waktu kakak baru dateng ke Bekasi pun, kakak nyamperin kamu ke rumah, tapi tetangga kamu bilang kamu kecelakaan. Makanya kakak nyari kamu di rumah sakit terdekat. Selama kamu masih di rumah sakit, kakak selalu mengikuti Bagus dan Marya diem-diem. Kakak lihat waktu mereka ke sini buat membeli rumah ini. Apa kamu tau? Mereka dengan bahagianya jalan-jalan, shopping, ketawa-ketawa, saat kamu masih terbaring lemah. Mereka emang berhati iblis!”

“Aku masih sulit percaya kalau Mas Bagus yang selembut itu dan Mbak Marya yang dari wajahnya kelihatan baik, ternyata sejahat itu sama aku. Suatu hari pasti mereka akan menyesali perbuatan mereka.”

“Emang harusnya kena azab tuh mereka! Andai aja kamu nggak melarang kakak, udah kakak balesin tuh dendam kamu ke mereka. Kalau perlu kakak cincang daging mereka.”

“Kakak ini malah kaya psikopat. Udah, kita nggak perlu balas kejahatan dengan kejahatan. Biar Allah yang bales.”

“Kamu itu walaupun amnesia, tapi tetep jadi Safina yang berhati baik. Kakak nggak sabar pengin ingatan kamu pulih dan kita bisa cepet pulang.”

“Aku juga, Kak. Oh ya soal ayah sama ibu gimana, Kak? Mereka nggak tau semuanya, kan?”

“Kakak udah kasih tau mereka. Tenang aja, mereka mau dengerin kakak untuk bersabar menunggu rencana kita. Mereka juga udah janji nggak akan ngomong apa-apa ke keluarga Bagus sebelum kita pulang.”

“Alhamdulillah. Aku takut mereka akan kaget dan jadi kepikiran terus.”

“Kamu tenang aja. Biar kakak yang berusaha menenangkan mereka. Ya udah kalau gitu kakak pulang dulu, ya. Kakak ngontraknya nggak jauh dari sini kok, tapi kamu tenang aja karena kakak selalu keluar pakai cadar. Jadi nggak akan ketahuan sama Bagus.”

“Iya, Kak. Kapan-kapan kita ketemu lagi, ya?”

“Pasti, Saf.”

Safina dan kakaknya berpelukan. Lalu Ayla keluar dengan memperhatikan sekeliling terlebih dahulu. Saat dirasa aman, barulah dia pergi.

Aku Bukan Pelakor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang