Safina terus menatap perempuan yang menarik tangannya itu. Dia masih tidak percaya dengan kenyataan yang baru saja dia ketahui. Dia yang selama ini sangat membenci perselingkuhan justru menjadi orang ketiga dalam hubungan orang lain. Bukannya membenci Marya, Safina justru merasa sangat bersalah. Meski tidak mengenal Marya, tetapi Safina yakin bahwa Marya adalah perempuan baik yang tidak seharusnya dia sakiti. Dalam hatinya dia terus menyalahkan dirinya sendiri hingga air mata itu tak dapat berhenti mengalir meski dia berjalan di jalan yang ramai. Seolah tak mempedulikan tatapan orang-orang kepadanya. Hanya sesekali Safina menyeka air matanya.
Setelah kurang lebih lima menit berjalan kaki, akhirnya Marya menghentikan langkahnya dan melepaskan tangan Safina.
"Ini di mana, Mbak?"
"Kontrakan saya. Ayo masuk."
Safina memandangi sebuah kontrakan kecil yang ada di hadapannya. Dengan ragu dia melangkah masuk mengikuti Marya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawab Marya dengan kasar.
Begitu masuk, manik Safina fokus pada dinding kontrakan itu. Warnanya biru. Dia pun teringat foto yang dikirimkan Bagus ketika dia baru saja kecelakaan. Warnanya sama persis. Safina juga ingat bahwa itu adalah salah satu kebohongan Bagus, di mana saat itu Bagus mengatakan bahwa dia pindah kontrakan, sementara para tetangga Bagus bilang bahwa Bagus tidak pernah pindah kontrakan. Berbagai pemikiran negatif pun mulai bermunculan dalam pemikiran Safina.
"Mbak, kenapa membawa saya ke sini?"
Marya yang baru keluar dari kamar melemparkan beberapa pakaian ke lantai. Safina pun tersentak. Dia seperti mengenali pakaian itu. Tangannya gemetar saat berusaha memungut salah satu baju itu dari lantai. Dia mendekatkan baju itu ke hidungnya. Benar saja. Sebuah aroma parfum yang sangat familiar di hidungnya pun tercium. Diikuti dengan setetes air mata yang jatuh.
"Apa maksudnya ini?"
"Itu baju-baju suami kamu. Dia selalu tidur di kontrakan samping itu setiap Sabtu dan Minggu. Itu kontrakan sepupu saya. Ya karena kami nggak bekerja di perusahaan yang sama lagi dan jadwal shift kami beda, kami jarang ada waktu buat ketemu. Jadi Sabtu Minggu saat dia libur dia jalan sama saya pagi sampai malem. Terus tidurnya di kontrakan sepupu saya. Dia sering ninggalin bajunya di sini biar kalau saya kangen, saya bisa mencium aroma parfum dia di baju itu. Kamu tenang aja, saya nggak ngapa-ngapain sama dia."
Kalimat yang diucapkan Marya seperti sebuah pedang yang menghunus tajam ke dada Safina. Pikirannya kembali melayang ke waktu di mana teman Bagus datang dan memberitahu bahwa selama ini Bagus sudah tidak pernah lembur lagi. Kini Safina pun mendapatkan jawaban dari pertanyaan akan kecurigaannya saat itu. Sebuah jawaban yang sebenarnya tak pernah ingin didengar oleh telinganya karena terasa begitu menyakitkan.
"I-itu nggak mu-mungkin! Kalau pun benar setiap Sabtu Minggu dia ke sini, nggak mungkin kalian nggak ngapa-ngapain," sangkal Safina sambil terisak.
"Bagus memang sering ke sini. Bahkan waktu dia kecelakaan dia pulang ke sini. Dia istirahat di sini karena waktu itu sepupu saya lagi nggak ada di kontrakan, tapi bukan berarti kami melakukan hal sejauh itu. Saya masih tahu batasan. Yang kami lakukan nggak sejauh itu. Mau bukti?"
Marya menunjukkan foto-foto mesranya dan Bagus saat mereka di kontrakan kepada Safina. Sontak Safina langsung menangis sesenggukan. Dia benar-benar tidak percaya bahwa lelaki yang dikenalnya sangat baik dan sopan itu ternyata adalah seorang penjahat wanita yang suka mempermainkan hati wanita. Bahkan ketika Bagus kecelakaan dan dia mengkhawatirkan Bagus, lelaki itu justru asyik berduaan dengan Marya di kontrakan Marya.
"Gimana? Udah tahu kan sekarang kalau kami saling mencintai dan kami selalu mesra setiap bersama. Walaupun sekarang saya sakit hati karena dia diam-diam menikahi perempuan lain di belakang saya, tapi saya tetap mencintai dia dan akan mempertahankan hubungan kami. Saya yakin dia punya alasan kenapa dia menikahi kamu. Dia itu sangat mencintai saya. Saya tahu dia tidak mungkin dengan sengaja mau mengkhianati saya."
"Udah cukup, Mbak! Jangan mengatakan apapun lagi yang akan membuat hati saya lebih sakit! Sekali lagi saya minta maaf karena telah menjadi orang ketiga. Saya sama sekali tidak pernah menginginkan posisi itu. Saya pasti akan meninggalkan Mas Bagus."
"Memang sudah seharusnya seperti itu. Syukurlah kamu sadar diri. Sekarang kamu boleh keluar."
"Baik, Mbak. Saya permisi. Sekali lagi, maafkan saya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Safina melangkahkan kakinya keluar. Dia ingin segera tiba di rumah melepaskan segala sesak yang ada dalam dadanya. Namun ketika baru keluar, tiba-tiba Marya ikut keluar dan berteriak.
"Ibu-ibu, Bapak-bapak, ayo ke sini semua."
Safina kebingungan. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan Marya.
Tidak lama setelah itu, para warga pun berkumpul di depan kontrakan Marya.
"Ada apa, Mbak Marya?" tanya salah seorang warga.
"Lihat deh perempuan ini. Dia ini pelakor! Dia telah merebut calon suami saya. Dia diem-diem menikah dengan calon suami saya yang sudah melamar saya, Bu, Pak. Padahal penampilannya aja syar'i banget, eh ternyata kerjaannya jadi selingkuhan orang."
Safina terkejut mendengar perkataan menyakitkan yang dilontarkan Marya. Dia tidak percaya bahwa perempuan yang dikiranya baik dan lembut itu ternyata bisa berkata sekejam itu.
Para warga langsung menatap Safina dengan sinis. Mereka pun mengolok-olok Safina.
"Bener Mbak yang dikatakan Mbak Marya? Ih nggak malu sama jilbabnya. Sok-sokan tampil religius, tapi suka nyakitin perempuan lain!"
"Lagi ikutan tren zaman sekarang ya, Mbak? Pelakor syariah!"
"Nggak laku ya kok sampai merebut calon suami orang?"
"Udah jelas-jelas cantikan Mbak Marya, kok lakinya malah pilih kamu sih?"
"Enggak! Itu semua nggak bener! Saya nggak pernah berniat merebut calon suami orang! Saya nggak pernah berniat jadi selingkuhan calon suami orang!" Safina berusaha membela diri.
"Alah! Udah ketahuan pelakor masih aja membela diri. Akui aja deh kalau emang doyan jadi selingkuhan! Demi apa? Demi duit?"
"Itu nggak bener! Cukup! Mbak, saya nggak nyangka Mbak tega mempermalukan saya seperti ini." Safina menatap Marya sambil menangis.
"Saya lebih nggak percaya lagi kalau perempuan berpenampilan syar'i seperti kamu mau jadi selingkuhan."
Safina menutup telinganya dengan erat. Lalu dia bergegas lari dari sana. Mereka terus berteriak mengolok-olok dirinya. Safina pun mempercepat langkah kakinya dan memberhentikan angkot yang sedang lewat.
Safina tidak berhenti menangis selama naik angkot dalam perjalanan pulang ke rumah. Jilbabnya dia gunakan untuk menutupi wajahnya agar orang-orang di dalam angkot tidak melihatnya menangis. Angannya pun melayang mengingat kebersamaannya dengan Bagus.
Gimana? Makin greget? 😁
![](https://img.wattpad.com/cover/236568329-288-k65533.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bukan Pelakor [END]
DragosteDisaat hati ingin menyepi, datang sosok tak terduga yang datang meminang diri. Meski tanpa diawali jatuh cinta, pernikahan Safina terasa sempurna dengan sosok suami yang perhatian dan penuh kasih sayang. Namun, setelah rahasia besar suaminya terkuak...