Chapter 7. Kekhawatiran

1.2K 102 0
                                    

Rasa bahagia itu seakan ingin terus menghinggapi hati Safina. Meski acara pertunangan sudah selesai dan kini dirinya hanya seorang diri di kamar, tetapi jantungnya masih berdebar-debar jika mengingat momen yang baru dilaluinya. Rona bahagia terpancar jelas di wajahnya.

Di kamarnya, Safina terus memandangi rangkaian seserahan yang diberikan Bagus melalui orang tuanya. Dia pun berpikir untuk mengirimkan pesan kepada Bagus.

"Assalamualaikum. Mas, acara udah selesai. Aku lega akhirnya semua berjalan dengan lancar. Terima kasih karena kamu telah membuktikan keseriusan kamu. Terima kasih juga untuk semua yang kamu kasih. By the way, kok kamu tahu kalau aku suka doraemon dan suka warna biru? Lucu banget kamu ngasih seserahan dengan tema doraemon, sampai sandal aja gambarnya doraemon. Ternyata kamu jauh lebih mengenal aku dibanding aku mengenal kamu. Intinya aku bahagia. Cepatlah pulang. Kamu baik-baik ya di sana."

Lama Safina menunggu, centang dua abu-abu tak kunjung berubah menjadi centang dua biru. Karena Safina pikir Bagus sudah tidur, dia pun memutuskan untuk tidur juga. Dia berharap besok pagi akan ada balasan pesan dari Bagus.

Keesokan paginya, ketika akan berangkat ke tempat bimbel, Safina memeriksa ponselnya. Namun tetap tidak ada jawaban dari Bagus. Bahkan hingga sore dia menunggu, Bagus tak juga membalas pesannya. Dibuka saja tidak.

Baru saja akan menelepon Bagus, tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi pesan dari lelaki yang dinantinya sejak tadi. Gadis itu pun buru-buru membaca pesan di WA-nya.

"Maaf, Mbak. Aku baru on. Aku kecelakaan tadi malem. Badanku sakit semua. Jadi aku baru bisa bales sekarang. Alhamdulillah, aku seneng baca pesan Mbak. Bagiku, kebahagiaan calon istriku itu penting banget. Makanya dari jauh-jauh hari aku cari tahu banyak hal tentang Mbak, termasuk apa yang Mbak suka dan enggak. Terus aku beliin barang-barang yang Mbak suka."

Safina langsung merasa begitu khawatir usai membaca pesan Bagus. Dia pun menelepon Bagus.

"Halo, Mas. Ya ampun, Mas kecelakaan? Gimana ceritanya?"

"Semalem aku pergi keluar sama temen-temen. Karena ngebut, aku tabrakan sama orang, Mbak. Orangnya nggak papa. Aku yang agak parah. Abis kecelakaan aku sih nggak papa awalnya. Langsung bisa bangun dan ketawa. Eh nggak lama kemudian baru berasa sakit semua. Paginya malah susah digerakin badanku."

"Lain kali hati-hati dong, Mas. Jangan kebut-kebutan, terutama kalau malem."

"Nggak seru kalau nggak ngebut, Mbak. Ini aja aku nggak kapok."

"Motornya nggak papa, kan?"

"Ih kok yang ditanyain motornya? Nggak perhatian banget sama calon suami."

Safina tertawa. "Bercanda, Mas. Habisnya udah kecelakaan kek gitu masih aja nggak kapok. Lukanya parah nggak, Mas?"

"Enggak kok, Mbak. Nih ya aku tunjukin."

Tanpa mematikan telepon, Bagus mengirimkan foto luka di tangan dan kakinya. Safina merasa ngeri saat melihatnya.

"Separah itu, Mas? Udah ke dokter?"

"Udah kok, Mbak. Udah dikasih obat juga. Tenang aja. Di sini aku kan banyak yang jagain. Nih temen-temen aku pada ngumpul di sini dari semalem."

"Tetep aja aku khawatir. Dari semalem aku chat nggak dibuka aja aku udah kepikiran terus. Sampai aku nggak konsen waktu ngajar bimbel."

"Maaf ya, Mbak. Harusnya kita bisa cerita tentang acara pertunangan kita, tapi aku malah kaya gini dan nggak bisa bales chat Mbak."

"Udah nggak usah mikirin soal itu dulu. Yang penting Mas sembuh dulu. Inget ya, jangan kerja selama masih sakit."

"Nggak lama lagi pasti sembuh kok, Mbak. Siap, calon istriku. Hmmm... aku masih kepikiran motorku. Kayanya rusaknya lumayan parah. Padahal kan motor kesayangan."

"Kamu ni masih sempet-sempetnya mikirin motor, Mas. Sayang banget sih sama RX-king kamu. Jangan-jangan nanti lebih sayang sama motor daripada sama istri."

"Ya sayang dua-duanya dong."

"Tuh kan. Istri aja disejajarin sayangnya sama motor."

"Beda kok sayangnya aku ke motor sama ke istri. Kalau sayangnya aku ke motor itu rasanya aku pengin ngoleksi banyak motor RX-king kaya gini. Kalau sayangnya aku ke istri rasanya aku pengin setia dan nggak berpaling ke cewek manapun. Cukup satu aja."

"Bagus deh. Awas aja kalau berani ngoleksi istri. Cukup motor aja yang dikoleksi. Oh ya, Mas bukannya kosan kamu dalemnya hijau ya? Maaf waktu itu aku sempet stalking akun media sosial kamu dan aku lihat foto-foto kamu lagi di dalem kosan. Kok itu tadi pas kamu ngirim foto, dindingnya warna biru?"

"Aku baru pindah kosan seminggu yang lalu, Mbak. Waktu Mbak nerima aku buat jadi calon suami kamu. Aku mau membiasakan diri untuk menyukai warna kesukaan kamu. Jadi aku nyari kontrakan yang warnanya biru. Nanti kalau kita udah nikah aku juga akan beliin Mbak rumah warna biru dan semua perabotannya warna biru. Malahan rencananya nanti salah satu motor RX-king punyaku mau aku warnain biru."

Safina tersenyum mendengarnya. "Dasar bucin. Nggak segitunya juga kali, Mas. Ya udah pokoknya aku tagih nanti. Pas kamu pulang motor kamu harus udah berwarna biru. Aku nggak mau ketemu kalau kamu belum buktiin omongan kamu."

"Eh berani nantangin aku ya. Oke, deal. Aku itu nggak main-main kalau ngomong. Apalagi kalau untuk buktiin cinta."

"Udah ah, ngantuk ngobrol sama orang bucin. Kamu istirahat ya. Jangan lupa diobatin lukanya. Pokoknya nggak boleh kerja kalau belum sembuh."

"Siap, ibu negara."

"Eh apaan? Kok ibu negara?'

"Salah satu panggilan khusus aku buat Mbak. Aku presidennya dan Mbak ibu negaranya. Ibu negara yang cuek."

"Enggak ya. Ngarang."

"Buktinya dulu aku komen terus nggak pernah dibales. Susah ya ternyata dapetin balesan doang, tapi sekalinya dibales eh langsung berlanjut ke lamaran."

"Biarin. Suka-suka aku. Udah aku tutup dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, calon istri."

Aku Bukan Pelakor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang