Ditemani rintikan hujan yang membasahi bunga-bunga, Safina termenung seorang diri di depan rumahnya, menunggu Bagus dan Marya pulang kerja. Dia menengadahkan tangannya merasakan dinginnya air hujan. Sementara pikirannya melayang entah ke mana. Tak lama Bagus dan Marya yang berboncengan muncul dari balik gerbang.
Tanpa menunggu lama, Safina berlari menyambut Bagus dengan pelukan. Lelaki itu pun bingung.
"Sayangku, ada apa ini? Kemarin masih malu-malu. Sekarang udah berani meluk. Aku seneng sih kalau kamu bisa lengket lagi sama aku gini."
"Aku takut di rumah sendirian. Nungguin kamu dari tadi malem rasanya kaya lama banget. Aku emang nggak inget siapa kamu, tapi aku merasa kehilangan banget waktu kamu nggak ada di rumah, Mas. Apalagi Mbak Marya juga nggak ada di rumah."
"Uluuh istriku sayang." Bagus mengelus kepala Safina dengan lembut.
"Bagus itu kan harus kerja, Safina. Jadi kamu harus membiasakan diri di rumah tanpa dia."
"Iya, Mbak. Oh ya, emang kalian tempat kerjanya sama ya? Kok pulangnya bareng?"
"Enggak. Aku sama Mas Bagus kerja di perusahaan yang berbeda, tapi tadi aku minta Mas Bagus nungguin aku pulang biar sekalian pulang bareng."
"Oh gitu. Eh ayo masuk, Mas. Aku bikinin kopi, ya?"
"Nggak usah. Aku aja yang bikinin," sahut Marya.
"Biar aku aja, Mbak. Mbak kan juga capek. Aku bikinin buat Mbak sekalian, ya? Mbak mau teh atau kopi?"
"Nggak perlu," jawab Marya dengan ketus. Dia langsung masuk ke dalam rumah.
Safina bengong. Bagus pun mendekat.
"Sayang, maafin sikap Marya, ya. Maklum dia kan lagi capek."
"Iya, Mas. Eh ini kenapa, Mas?" Safina memegang pipi Bagus.
"Oh ini, biasalah kena cat. Jadi aku itu kerja di bagian painting di perusahaan mobil."
"Ya udah kamu cepet masuk. Biar aku bikinin kopi sekalian aku ambilin kain sama air buat bersihin muka kamu."
"Nggak usah, sayang. Nanti kalau mandi juga hilang."
"Nggak papa. Aku kan mau melayani suamiku dengan baik. Aku mau mengembalikan keromantisan kita seperti sebelum aku hilang ingatan. Bukannya kamu bilang dulu kita romantis banget?"
"Iya, sayang. Aku seneng kalau kamu bisa jadi seperti dulu lagi. Yuk masuk."
Bagus menggandeng tangan Safina masuk. Lalu dia duduk di sofa. Sementara Safina sibuk membuatkannya dua gelas kopi dan menyiapkan air serta kain untuk membersihkan wajah Bagus.
Bagus tertegun saat melihat Safina membawa dua gelas kopi.
"Kok dua? Satunya buat siapa? Dulu kamu itu nggak suka kopi lho. Apa sekarang jadi suka?"
"Siapa bilang ini buat aku? Ini buat kamu semua. Kata Mbak Marya kamu biasanya nggak cukup minum segelas aja."
"Oh jadi kamu cari tahu lewat Marya? Aku seneng deh kedua istriku selalu akur."
"Bukannya dari dulu juga gitu kata kamu, Mas? Mas, dulu aku ini asalnya dari mana sih?" tanya Safina sembari mengelap wajah Bagus.
"Dari Lampung. Kita ini tetanggaan, tapi setelah nikah kita tinggal di Bekasi. Kalau aku sih emang udah lama banget merantau di Bekasi."
"Terus orang tua aku mana? Kok mereka nggak ada waktu aku sadar dari koma?"
"Maaf ya, sayang. Aku nggak kasih tahu mereka. Aku nggak mau bikin mereka khawatir."
"Kalau gitu sekarang aku mau ngabarin mereka, Mas. Boleh, kan? HP aku mana?"
"Em HP kamu rusak waktu kecelakaan. Aku udah beliin yang baru kok. Udah aku masukin kontak keluarga kamu juga."
"Mana, Mas? Aku mau nelpon mereka."
"Sayang, tolong jangan kasih tahu mereka ya kalau kamu amnesia. Terus jangan pernah cerita soal Marya juga."
"Lho, kenapa? Apa mereka nggak tahu soal Mbak Marya?"
"Enggak, sayang. Mana mungkin mereka ngizinin kamu jadi istri kedua."
"Aku nggak nyangka dulu aku sejahat itu. Aku udah bohongin orang tua aku dan aku dengan teganya menikah sama suami orang lain."
Bagus mengusap bahu Safina, berusaha menenangkan Safina yang menunduk sedih.
"Sayang, kamu itu nggak jahat. Nggak ada yang salah dalam cinta. Cinta kan emang perlu diperjuangkan tanpa peduli hambatan apa pun yang ada di hadapan kita. Yang penting sekarang kita bertiga udah jadi keluarga bahagia. Lagian Marya kan juga bisa menerima kamu dengan baik."
"Iya, Mas."
"Ya udah kamu ambil aja HP-nya di kamar. Ada di dalam laci meja kecil kamar kita."
"Oke."
Bagus mengerutkan dahi saat Safina terus menatapnya dan tak segera beranjak dari tempat duduk.
"Lho katanya mau ke kamar nelpon orang tua kamu, sayang?"
"Nggak mau gendong aku? Aku lemes mau jalan sendiri. Gendong aku ya, Mas sampe kamar?" pinta Safina dengan manja.
Bagus tersenyum. "Sekarang jadi manja ya istriku. Siap deh, Nyonya Bagus."
Lelaki itu memang tak pernah ingin menolak permintaan istri-istrinya. Bahkan ketika salah satu dari mereka sedang begitu manja, Bagus dengan sabar menurutinya.
Meski masih merasa lelah sepulang kerja, Bagus tak keberatan saat harus menggendong Safina naik ke kamarnya di lantai dua. Dia justru senang karena kini Safina bisa bersikap manja dan begitu lengket dengannya.
Bagus merebahkan Safina di kasur. Setelah itu dia hendak keluar dari kamar, tetapi tangan Safina menahannya.
"Mas, nanti malem tidur di kamar aku, ya? Aku mau kita...."
Bagus terkejut mendengar ucapan Safina.
"Aku nggak salah denger, sayang?"
"Enggak, Mas. Walaupun aku nggak inget apa-apa, aku tetap akan melakukan kewajiban aku sebagai seorang istri. Aku nggak mau mengecewakan kamu sedikit pun. Aku nggak salah, kan?"
"Enggak, sayang. Aku malah seneng banget. Ya udah aku mandi dulu ya. Kamu katanya mau nelpon ibu kamu kan?"
"Iya, Mas."
Dari luar Marya mendengarkan percakapan Safina dan Bagus. Tangannya mengepal. Hatinya seperti terbakar.
Setelah hari itu, semakin hari Safina dan Bagus semakin lengket. Kemesraan mereka yang dulu telah kembali. Hal itu semakin menyulut kecemburuan Marya. Dia pun sudah tidak bisa selalu bersikap manis lagi kepada Safina. Bahkan melihat wajah Safina saja sudah membuat Marya kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bukan Pelakor [END]
عاطفيةDisaat hati ingin menyepi, datang sosok tak terduga yang datang meminang diri. Meski tanpa diawali jatuh cinta, pernikahan Safina terasa sempurna dengan sosok suami yang perhatian dan penuh kasih sayang. Namun, setelah rahasia besar suaminya terkuak...