Ayla berulang kali berteriak memanggil Safina, tetapi tidak ada jawaban. Akhirnya dia menghampiri Safina di kamarnya. Dia pun menepuk bahu Safina yang tengah berbaring sambil senyum-senyum sendiri dengan ponsel dalam genggamannya.
"Hey, ayo wudhu. Bentar lagi azan. Biasanya semangat pengin duduk di shaf paling depan. Udah ditungguin ayah sama ibu tuh. Nggak mau ninggalin salat berjamaah di masjid, kan?"
"Eh, iya Kak."
"Hayo, lagi chat sama siapa? Kok senyum-senyum sendiri? Kakak tahu. Pasti lagi jatuh cinta, kan? Udah lama lho kakak nggak lihat kamu senyum-senyum sama HP kaya gini. Terakhir kali waktu kamu masih pacaran sama Tomi."
"Kenapa malah jadi bahas dia sih, Kak. Males. Enggak, aku cuma lagi chat sama temen aja."
"Temen apa temen?" Ayla menggelitiki Safina.
Safina tersipu malu, "Ya temen lah. Kakak kan ngasih pilihannya temen atau temen. Ya berarti temen."
"Ayo jujur sama kakak. Kamu lagi deket sama siapa? Katanya nggak mau pacaran lagi."
"Lagian siapa yang pacaran. Udah, aku mau wudhu." Safina beringsut dari tempat tidurnya sembari menjulurkan lidah kepada kakaknya.
Ayla mengernyitkan dahinya. Dia penasaran dengan siapa adiknya itu berbalas pesan.
**
Usai menyelesaikan pekerjaan rumah, Safina bersiap untuk ke rumah makan ayahnya. Setiap hari Minggu dia memang selalu membantu ayahnya.
"Bu, Safina berangkat dulu ya."
"Iya, Nak. Hati-hati ya."
"Oh ya, Kak Ayla mana, Bu?"
"Biasa lah, sibuk menjahit di kamarnya."
"Hari Minggu nggak pengin istirahat apa."
"Emangnya sekolah, hari Minggu harus libur?"
"Ya kan biar nggak capek, Bu. Kirain nganggur mau aku ajak bantuin ayah juga."
"Udah kamu sendiri aja. Biarin kakak kamu nyelesaiin pekerjaannya. Lagian nanti keburu baju-bajunya diambil sama tetangga terus belum selesai jahitnya gimana?"
"Ya udah deh. Assalamualaikum, Bu." Safina mencium tangan ibunya.
"Waalaikumsalam."
Gadis bertubuh mungil itu segera menuju rumah makan dengan mengendarai motor. Sejuknya udara pagi membuatnya sengaja memperlambat laju motornya agar bisa berlama-lama menghirup udara segar dan menikmati indahnya pemandangan desa yang masih diselimuti kabut.
Tiba-tiba perhatian Safina tertuju kepada seorang ibu paruh baya yang berjalan seorang diri dengan membawa banyak tas. Sepertinya ibu itu kesulitan membawa tas-tas berat itu. Safina memandanginya sesaat dan menyadari bahwa itu adalah ibunya Bagus. Safina pun menghentikan motornya.
"Assalamualaikum. Bu Mirna, dari mana, Bu?"
"Waalaikumsalam. Eh Safina. Ibu habis belanja dari pasar."
"Kok jalan kaki sendirian, Bu?"
"Ya gimana lagi, nggak ada motor di rumah. Yang dua dibawa Bagus merantau, yang satu lagi dibawa bapaknya merantau juga."
"Ya ampun. Jarak dari rumah Ibu ke pasar kan jauh. Apalagi dengan barang bawaan sebanyak ini. Safina antar ya, Bu?"
"Nggak usah, Nak. Nanti merepotkan. Lagian bukannya kamu mau pergi?"
"Enggak kok, Bu. Safina cuma mau ke rumah makan bantu-bantu ayah, jadi nggak buru-buru. Ayo Bu, nggak papa Safina anter. Biar Safina bantu naruh tas Ibu di motor dulu ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bukan Pelakor [END]
RomansaDisaat hati ingin menyepi, datang sosok tak terduga yang datang meminang diri. Meski tanpa diawali jatuh cinta, pernikahan Safina terasa sempurna dengan sosok suami yang perhatian dan penuh kasih sayang. Namun, setelah rahasia besar suaminya terkuak...