Chapter 24. Ide Gila

3.3K 135 4
                                    

Bunyi sirine ambulans terdengar di sepanjang jalan. Bagus yang duduk di samping istrinya yang sedang terbaring tak sadarkan diri di dalam ambulans pun tak berhenti berdoa sembari terus menggenggam tangan istrinya.

"Sayangku, bangun. Aku nggak mau kehilangan kamu. Aku sayang banget sama kamu. Aku minta maaf udah nyakitin kamu, tapi dibalik itu cintaku itu tulus."

Begitu sampai di rumah sakit, Bagus tetap tak ingin melepas genggamannya hingga istrinya dibawa masuk ke ruang UGD. Rasanya ingin sekali dia tetap mendampingi istrinya di dalam. Namun dokter melarangnya.

Lelaki itu terus mondar-mandir. Untuk pertama kalinya dia meneteskan air mata karena seorang wanita. Menandakan bahwa cintanya teramat dalam hingga dirinya sangat takut kehilangan sang istri. Dalam hatinya dia terus menyalahkan dirinya sendiri karena Safina mengalami kecelakaan akibat berusaha menyelamatkannya. Meski dia sudah menyakiti Safina, tetapi wanita itu masih sangat mencintainya hingga rela mengorbankan nyawa demi melindunginya. Hati Bagus seakan teriris-iris.

Setelah lebih dari satu jam menunggu, akhirnya dokter keluar.

"Dokter, gimana keadaan istri saya, Dok?"

"Pasien mengalami koma. Luka di kepalanya cukup parah. Terjadi kerusakan pada sistem limbik di otaknya di mana itu bisa menyebabkan pasien mengalami amnesia. Untuk kepastiannya, kita tunggu saja saat pasien sadar nanti."

"Enggak, Dok. Istri saya nggak boleh hilang ingatan."

"Tenang, Pak. Doakan saja yang terbaik untuk istri Anda. Semoga saja itu tidak terjadi."

"Apa saya boleh masuk, Dok?"

"Boleh, tapi sebentar saja. Pasien butuh istirahat. Baiklah, kalau begitu saya permisi."

"Baik, Dok. Terima kasih."

Tanpa menunggu lebih lama, Bagus bergegas masuk. Dia langsung mencium kening istrinya dan menggenggam erat tangan wanita yang sangat dicintainya itu.

"Sayangku, kenapa kamu sekarang terbaring di sini? Ini semua gara-gara aku. Aku semakin sadar kalau memang cinta kamu ke aku begitu besar. Harusnya kamu biarkan aku mati karena aku udah bikin kamu nangis, tapi kamu malah memilih menyelamatkan aku. Aku merasa malu sama diriku sendiri. Sayang, cepat bangun. Aku yakin kamu wanita yang kuat. Kamu akan baik-baik aja. Tolong jangan lupakan aku ketika kamu bangun nanti."

Bagus terus berbicara kepada istrinya sembari menangis. Berulang kali dia mencium tangan istrinya dan mengucapkan permohonan maaf.

Tiba-tiba seorang perempuan masuk, memegang bahunya.

"Mas, sabar ya."

"Marya? Kamu kok bisa ada di sini? Ayo sini keluar." Bagus menarik Marya keluar.

"Iya tadi aku mau ke rumah kamu, terus kata tetangga kamu mereka lihat kamu ribut sama Safina dan Safina tertabrak mobil. Makanya aku langsung ke sini."

"Kamu ngapain mau ke rumah aku?"

"Ya ketemu kamu lah, Mas. Safina kan udah tahu tentang kita. Berarti udah nggak perlu kamu tutupin lagi, kan?"

"Kamu nggak marah sama aku setelah tahu semuanya?"

"Buat apa marah? Aku nggak peduli ya mau kamu udah punya istri berapa, aku tetep akan pertahanin hubungan kita. Ya walaupun aku sebenarnya kecewa."

"Marya, aku minta maaf. Aku nggak bermaksud mengkhianati kamu. Awalnya aku cuma mau menuruti kemauan ibu, tapi lama-lama aku jatuh cinta beneran sama dia."

"Udah nggak usah dibahas lagi. Yang penting kita kan tetep pacaran. Oh ya, gimana keadaan dia?"

"Dokter bilang luka di kepalanya cukup parah dan ada kemungkinan dia akan amnesia."

"Amnesia? Ya bagus dong kalau gitu."

"Marya! Kamu keterlaluan ya! Kamu seneng lihat keadaan Safina seperti itu?"

"Aduh, Mas. Coba deh pinteran dikit. Kalau Safina amnesia, artinya dia nggak akan inget sama perselingkuhan kamu dong. Berarti dia nggak akan inget sama kita berdua dan apa yang udah terjadi. Kamu bebas deh ninggalin dia."

"Gila ya kamu! Aku nggak akan pernah ninggalin Safina!"

"Mas, cinta kamu itu cuma buat aku. Kamu menikahi dia itu terpaksa. Jadi ngapain kamu pertahanin dia lagi saat kamu punya kesempatan buat ninggalin dia?"

"Itu dulu. Sekarang aku juga mencintai Safina. Aku mencintai kalian berdua dan aku nggak akan ninggalin satu pun dari kalian."

"Oke kalau gitu aku punya ide lain yang adil buat kita."

"Apa?"

"Mumpung dia masih koma, kamu nikahin aku. Terus saat dia sadar nanti, kamu bilang aja kalau kamu punya dua istri, tapi aku sebagai istri pertamanya. Dengan begitu Safina akan berpikir kalau dari dulu dia emang jalanin kehidupan sebagai istri kedua. Semuanya akan baik-baik aja dan dia nggak akan marah atau pun nangis lagi. Gimana? Beres, kan? Jadi kamu nggak akan nyakitin dia atau aku."

"Ide konyol! Mana mungkin aku tega menikahi wanita lain saat istriku yang sudah mengorbankan nyawanya untukku terbaring lemah di dalam sana!"

"Mas, aku itu bukan wanita lain. Kita udah jalanin hubungan ini empat tahun. Inget, aku yang udah nemenin kamu dari nol dan aku nggak mau dibuang gitu aja demi wanita lain. Kalau kamu nggak setuju sama ide aku, ya udah biar aku yang pergi. Urus aja istri kesayangan kamu!"

Marya hendak pergi. Namun Bagus mencegahnya. Meski hatinya bimbang, tetapi demi cintanya untuk Marya dan Safina, Bagus memutuskan untuk menyetujui ide Marya.

"Oke, aku setuju sama ide kamu, tapi dengan syarat kamu nggak boleh nyakitin Safina ketika nanti kalian udah tinggal dalam satu rumah."

Marya mengukir sebuah simpul di bibirnya. "Deal. Tenang aja. Aku akan bersikap seperti seorang istri pertama yang sangat baik kepada madunya. Kalau begitu besok kita menikah."

"Apa?! Besok?"

"Iyalah. Apa kamu mau nunggu istri kamu sadar dulu? Tenang, kita cukup menikah secara pribadi tanpa perlu ngundang orang-orang. Sederhana, yang penting sah. Jadi kamu juga nggak akan dihujat sama orang."

"Gimana dengan keluarga kita? Aku yakin mereka nggak akan setuju sama ide gila ini."

"Ya kita nggak usah kasih tahu mereka lah. Emang kamu mau ngecewain ibu kamu? Untuk aku, gampang. Bapak sama ibu kan di Blora. Aku juga nggak akan kasih tahu mereka sekarang. Biar sepupu aku yang jadi waliku saat nikah nanti."

"Sumpah ini gila banget. Aku takut suatu saat pernikahan ini akan menghancurkan keluarga kita."

"Udah lah nggak usah mikirin apa yang akan terjadi nanti. Lihat aja nanti setelah kita punya anak mereka juga bakal menerima hubungan kita kok. Pokoknya aku mau besok kita menikah. Biar aku yang cari penghulunya."

"Ya udah terserah kamu aja. Yang penting aku nggak kehilangan Safina."

Aku Bukan Pelakor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang