Chapter 15. Kebohongan

3.7K 179 0
                                    

Safina masuk ke kamar dengan membawa piring dan gelas. Dia memperhatikan suaminya yang masih tidur pulas. Tangannya pun mengelus pipi suaminya dengan lembut. Lalu dia mendekatkan bibirnya ke telinga suaminya itu.

"Sayang, bangun. Udah pagi."

"Hmmm...." Bagus hanya berdeham.

Safina lalu mencium kening Bagus dan berbisik lagi, "Suamiku, ayo bangun. Nanti telat kerjanya."

Perlahan Bagus pun membuka mata. Namun dia hanya tersenyum dan menutup matanya lagi. Karena tidak berhasil juga, Safina mendekatkan piring yang dibawanya ke hidung Bagus dan membiarkan Bagus mencium aroma sedap dari makanan di piring itu. Benar saja, cara itu ampuh untuk membuat Bagus bangun.

"Apa ini, sayang? Kok enak banget baunya."

"Ini kepiting saus tiram, cumi kecombrang, sama sushi. Kesukaan kamu, kan?"

"Banyak banget. Kok tahu aku suka seafood? Terus ada sushinya juga lagi."

"Ya tahu dong. Istri wajib tahu apa kesukaan suami. Iya tadi aku juga bikin sushi karena kamu katanya suka segala sesuatu berbau-bau Jepang gitu. Berarti juga suka makanan Jepang, kan?"

"Pinter banget, sayangku. Tahu aja cara nyenengin hati suami. Eh tadi kamu nyium aku kan buat bangunin aku? Ni udah bangun nggak mau dicium lagi?"

"Enggak. Alah aku cium aja nggak bangun. Giliran nyium bau makanan langsung deh matanya terbuka lebar."

"Hehe maaf, sayang. Ngantuk banget. Nyenyak banget tidurnya kalau sama kamu."

"Beda ya dengan tidur sendiri?"

"Iya dong. Ya udah yuk salat. Setelah itu kita sarapan bareng. Aku nggak sabar makan masakan kamu yang pastinya enak banget."

"Kamu salat sendiri ya, Mas. Aku lagi nggak salat. Kamu salat, biar aku ke dapur bikinin kamu kopi."

"Yah, berarti nanti malem nggak bisa...."

"Apa? Udah sana cepetan salat. Ini aku bawa piringnya ke meja makan."

"Siap, nyonya Bagus!"

Safina pergi ke dapur untuk membuat kopi. Lalu dia menyiapkan makanan untuk sarapan dan menunggu di ruang makan. Setelah cukup lama menunggu, Bagus yang sudah selesai mandi dan siap berangkat kerja pun menghampirinya di ruang makan. Tak lupa Bagus mencium keningnya sebelum duduk.

"Have a nice meal, sayang."

"Aku seneng deh dari tadi dipanggil sayang. Biasanya cuma dipanggil mas."

"Emang nggak seneng aku panggil mas?"

"Ya seneng sih. Cuma lebih sweet aja gitu kalau dipanggil sayang. Ya udah yuk makan. Kita baca doa dulu ya."

Usai berdoa, tanpa menunggu lama Bagus langsung menyantap makanan dengan lahap. Dia berulang kali memuji masakan Safina yang menurutnya sangat enak.

"Aku berulang kali makan di restoran mewah makanannya nggak seenak ini. Istriku emang jago banget masak. Nggak cuma jago masak sih, jago segalanya," puji Bagus.

Safina tersipu malu. "Apa sih, Mas. Udah cepet habisin."

Selesai makan, Bagus berpamitan kepada Safina untuk berangkat kerja. Seperti biasanya, Bagus berulang kali mencium Safina sebelum keluar rumah. Sepertinya mereka layak dijuluki sebagai salah satu pasangan paling romantis.

Begitu Bagus berangkat kerja, Safina pun sibuk mengerjakan pekerjaan rumah. Setelah beres, Safina berniat pergi ke warung membeli bumbu dapur dan sayuran. Karena tidak bisa naik motor RX-king, akhirnya dia memutuskan untuk jalan kaki walaupun jalan menuju warung lumayan jauh.

Saat melewati kontrakan lamanya dengan Bagus, ada seorang ibu yang menyapanya.

"Pagi, Neng. Istrinya Bagus kan, Neng? Mau ke mana, Neng?"

Safina membalas dengan senyuman ramah. "Iya, Bu. Kok Ibu tahu? Kayanya selama di sini saya belum pernah ketemu Ibu. Saya mau ke warung, Bu."

"Saya kan sering lihat Neng nyapu depan rumah. Rumah saya deket sini, Neng. Tuh di sana," ucap ibu itu sambil menunjuk sebuah rumah.

"Oh iya, Bu."

"Masya allah cantik banget si Neng ini. Beruntung ya Bagus dapet istri secantik Neng."

"Namanya juga wanita, Bu. Kalau ganteng nanti Bagus dikira nggak normal," canda Safina.

"Ibu kenal baik ya sama suami saya?" tanya Safina.

"Iya lah, Neng. Dia itu kan orangnya ramah, baik. Apalagi dia udah lama ngontrak di sini. Semenjak kalian pindah, kontrakannya jadi sepi."

Safina senang mendengar ibu tersebut memuji suaminya.

"Apa nggak ada yang nempatin, Bu? Dulu waktu Mas Bagus sempat pindah kontrakan juga nggak ada yang nempati ya kok bisa Mas Bagus balik ngontrak lagi?"

"Enggak, Neng. Ngomong-ngomong tadi kata Neng waktu Bagus pernah pindah kontrakan? Kapan ya, Neng? Setahu saya dia dari dulu ngontrak di sini. Nggak pernah pindah."

"Tapi kata suami saya dia pernah pindah sebentar waktu itu, Bu."

"Kapan, Neng? Ibu ingat betul kalau dia selalu di sini. Saya kan jualan kue, setiap pagi saya jualin ke anak-anak kontrakan sekitar sini. Malahan Bagus setiap hari beli kue saya."

Safina tertegun. Dia bingung mengapa perkataan ibu tersebut berbera dengan perkataan Bagus.

"Ibu yakin kalau suami saya nggak pernah pindah kontrakan?"

"Iya, Neng. Kalau Neng nggak percaya, Neng bisa tanya orang-orang sini. Neng mau ke warung, kan? Nah Neng tanya aja sama orang-orang di warung soalnya Bagus setiap hari nongkrong di sana."

"Baik, Bu. Terima kasih, Bu. Kalau begitu saya ke warung dulu ya, Bu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, Neng."

Safina berjalan dengan perlahan. Hatinya mulai terasa tidak nyaman.

Ketika tiba di warung, Safina segera membeli segala keperluannya. Setelah itu dia mencoba mengikuti saran ibu tadi dengan menanyakan kepada ibu pemilik warung.

"Maaf, Bu. Apa saya boleh tanya sesuatu?"

"Iya, mau tanya apa, Neng?"

"Katanya Mas Bagus sering ngopi di sini, berarti Ibu cukup kenal baik sama dia. Apa dia pernah pindah kontrakan, Bu?"

"Neng ini siapa ya kok nanyain tentang Bagus?"

"Saya Safina, istrinya Mas Bagus."

"Oh istrinya Bagus. Pantesan dia nggak pernah minum kopi di sini. Udah ada istri yang bikinin ternyata. Setahu saya, dia nggak pernah pindah kontrakan Neng. Setiap malem atau pagi sebelum berangkat kerja dia selalu ngopi di sini. Kalau mau ke pasar tiap pagi kan saya juga nglewatin kontrakannya dia. Dia nggak pernah pindah tuh."

"Oh begitu ya, Bu. Terima kasih, Bu."

"Sama-sama, Neng. Ada apa emangnya, Neng?"

"Nggak ada apa-apa, Bu. Cuma tanya aja."

"Eh iya selamat ya Neng atas pernikahannya sama Bagus. Semoga jadi keluarga sakinah, mawadah, warahmah. Semoga dijauhkan dari pelakor. Sekarang kan lagi jamannya banyak pelakor. Jadi harus hati-hati, Neng. Apalagi Bagus itu gajinya gede, orangnya juga ganteng dan baik. Cewek mana coba yang nggak naksir sama dia."

Begitu mendengar kata 'pelakor', jantung Safina seakan berhenti berdetak. Baru saja mendapati kebenaran bahwa suaminya telah berbohong, pikiran Safina mulai melayang tak tentu arah.

"Iya, Bu. Terima kasih. Ya udah saya pulang, Bu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Kaki Safina mendadak terasa lemas untuk berjalan. Berbagai pertanyaan berkeliaran dalam benaknya. Dia bingung mengapa masalah kontrakan saja Bagus harus berbohong. Dia juga terus memikirkan di mana sebenarnya Bagus usai kecelakaan itu yang sebelumnya disebut Bagus sebagai kontrakan barunya.

Aku Bukan Pelakor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang