Chapter 31. Rencana Liburan

1.5K 97 0
                                    

Sebuah kecupan mendarat di pipi Safina ketika dia tengah sibuk memasak sore itu. Tubuhnya pun merasakan hangatnya sebuah dekapan tangan yang tak asing baginya.

"Mas, aku lagi masak lho ini. Jadi nggak fokus nanti kalau kamu giniin. Nanti keasinan gimana?"

"Mau asin, mau asem, atau pahit sekalipun tetep aja enak kalau yang masuk istriku yang cantik ini."

"Sana duduk biar aku bikinin kopi."

"Aku nggak mau ngopi, sayang."

"Kenapa?"

"Aku mau ngeteh aja bareng kamu."

"Bukannya kata Mbak Marya kamu nggak terlalu suka teh?"

"Apa yang istriku suka aku juga suka kok."

"Ya udah aku bikinin dulu ya."

"Nggak usah, sayang. Biar aku aja. Ini juga biar aku yang masak."

"Kamu bisa masak?"

"Bisa dong. Dulu kan aku ngontrak sendiri. Udah biasa masak. Dulu aku juga sering masakin buat kamu kok sebelum kamu amnesia. Udah pokoknya sekarang aku mau ratuku duduk manis. Biar aku yang masak dan bikinin teh."

"Manis banget sih suamiku. Ya udah aku ke ruang makan dulu. Aku tunggu masakannya."

"Eits, cium dulu dong," pinta Bagus manja.

Safina memberi satu kecupan cukup lama di pipi Bagus. Suaminya itu pun tersenyum.

Tidak butuh waktu lama, Bagus tiba di ruang makan dengan membawa nasi dan lauk, serta teh. Safina memajukan hidungnya, mencoba mencium aroma sedap dari masakan suaminya.

"Baunya enak. Pasti rasanya juga enak."

"Pasti dong. Suaminya Safina kan jago masak. Ni sayang, diminum dulu tehnya. Baru kita makan."

"Mbak Marya mana, Mas? Biasanya kan kita makan bertiga."

Baru saja menanyakan tentang Marya, tiba-tiba wanita itu sudah berdiri di samping Safina. Dia segera duduk dengan muka masam.

"Asyik ya mesra-mesraan terus berdua. Istri pertama dilupain."

"Jangan gitu, Mbak. Kami baru aja mau manggil Mbak. Yuk makan. Ini yang masak Mas Bagus lho."

Marya bersikap tak acuh. Dia malah membuang muka.

"Kamu kenapa sih dateng-dateng cemberut, ngomel?" tanya Bagus.

"Bete aja lihat suami lebih perhatian ke istri keduanya terus," jawab Marya sembari melirik ke arah Safina.

"Marya, udah ya jangan bahas itu lagi."

"Kenyataannya gitu, kan?"

"Udah yuk kita makan. Jangan ribut di depan makanan. Kita doa dulu."

Bagus memimpin doa sebelum mereka makan. Lalu Safina dan Marya mulai mengambilkan makanan untuk Bagus.

Belum sampai menelan sesuap nasi, Bagus harus mendengar Marya mengoceh lagi. "Mas, kok aku belum hamil juga, ya? Padahal aku kan nggak pernah nunda. Jangan-jangan ada masalah lagi sama salah satu di antara kita."

"Sabar dong, sayang. Orang lain aja banyak lho yang harus berjuang bertahun-tahun demi bisa dapet anak. Kamu baru berapa bulan aja udah ngeluh. Pake suuzon kaya gitu. Inget, ucapan itu doa. Lagian Safina juga belum hamil santai-santai aja. Dia kan juga udah nggak nunda kehamilan lagi semenjak kecelakaan itu."

"Kalau dia mah biarin aja. Aku kan maunya hamil lebih dulu dari dia. Kalau dia duluan nanti kamu makin lengket sama dia dan makin jauh dari aku."

"Kenapa sih ngomong gitu? Siapapun yang hamil lebih dulu, nggak masalah buat aku. Aku tetep akan sayang sama kedua istriku."

"Halah nggak percaya aku. Pokoknya aku mau aku yang hamil pertama. Kita itu harusnya sering-sering ngabisin waktu berdua biar aku cepet hamil. Selama pacaran aja kita sering jalan berdua. Habis nikah malah nggak pernah."

"Kamu kan tahu aku ini sibuk. Lagian aku punya dua istri. Kalaupun mau jalan-jalan, aku harus ajak kalian berdua."

"Nggak mau lah. Aku maunya berdua aja. Ayo dong kapan. Aku pengin ke Bali, ke Jogja, pokoknya kita liburan ke banyak tempat. Minggu depan kan aku liburan ke puncak sama temen-temen kerja aku. Aku nginep dua hari. Nanti minggu depannya lagi gantian aku liburannya sama kamu ya, sayang?"

"Mbak Marya bener, Mas. Kalian butuh waktu berdua. Aku nggak papa kok nggak ikut. Aku lebih suka di rumah," sahut Safina.

"Gini aja, aku akan cari waktu yang pas. Nanti habis aku liburan sama Marya, aku gantian liburan sama kamu ya, sayang?"

"Nggak usah, Mas. Jangan menghamburkan uang kamu. Mending duitnya ditabung buat masa depan. Buat anak-anak kamu nanti."

"Gimana aku nggak makin jatuh cinta sama kamu, sayang. Kamu biarpun amnesia tetep nggak berubah. Tetep jadi Safina yang sederhana, pengertian, dan nggak neko-neko. Kamu nggak pernah minta ini itu sama aku."

Marya geram mendengar Bagus memuji Safina. "Maksudnya apa Mas ngomong gitu? Mau nyindir aku? Aku ya aku. Safina ya Safina. Palingan juga dia cuma mau cari muka sama kamu."

"Mbak Marya kenapa sih selalu berpikiran negatif tentang aku? Salah aku apa sama Mbak?"

"Udah udah. Nggak usah ribut. Marya, oke aku akan turuti kemauan kamu, tapi nggak perlu kan kamu ngomong gitu tentang Safina? Kamu itu udah dinasehatin masih aja kaya gitu. Sayangku, maafin perkataan Marya ya." Bagus berusaha menghibur Safina.

"Nggak papa. Wajar, aku kan istri kedua. Harusnya aku emang nggak pernah ada."

Safina meletakkan sendok di piring dan meninggalkan ruang makan. Bagus pun menyorot Marya tajam dan bergegas mengejar Safina.

Safina yang tengah menunduk sedih di kamar, tiba-tiba merasakan tangan hangat Bagus memeluknya.

"Sayangku, jangan sedih dong. Aku paling nggak suka lihat kamu sedih. Kamu yang sabar ya. Marya emang kaya gitu orangnya. Nanti biar aku marahin dia. Kamu jangan ngomong kaya gitu lagi. Aku itu bahagia banget memiliki kamu. Bahkan setiap aku lagi kesel sama manjanya Marya, kamu yang selalu berusaha nenangin aku. Aku nggak tahu gimana hidup aku tanpa adanya kamu."

Safina melepaskan pelukan Bagus dan menatap mata suaminya itu. "Aku ngerti kok, Mas. Maaf juga tadi aku kebawa emosi. Insyaallah aku akan lebih sabar lagi menghadapi Mbak Marya."

"Nah gitu dong. Ayo senyum dulu."

Safina memberikan senyuman kecil dengan mata yang masih menampakkan kesedihan.

"Sayang, aku mau ngajak kamu honeymoon. Kamu mau nggak? Waktu itu kita belum sempet honeymoon eh malah kamu kecelakaan."

"Honeymoon? Mas, kamu kan mau pergi sama Mbak Marya."

"Kamu denger sendiri kan tadi kalau Marya mau liburan sama temen-temennya minggu depan. Sebenarnya dia udah ngasih tahu aku dari kemaren-kemaren. Jadi aku udah nyiapin rencana, nanti waktu dia pergi, kita juga pergi. Kita liburan berdua. Kebetulan dia perginya Sabtu Minggu. Kan aku nggak kerja. Dengan begitu dia nggak akan marah karena dia nggak tahu. Gimana?"

"Kok gitu, Mas? Aku malah jadi nggak enak sama Mbak Marya. Aku nggak mau nyakitin dia."

"Sayang, kan kita nggak akan kasih tahu dia. Kapan lagi sih kita bisa pergi berdua? Kamu tahu sendiri kan gimana cemburuannya Marya? Aku yakin dia nggak akan pernah biarin kita liburan berdua. Jadi kita manfaatkan kesempatan ini. Please, sekali ini aja kamu turuti suami kamu ini."

Safina berpikir sesaat. Lalu dia memberi anggukan. Bagus pun merasa begitu gembira.

"Aku seneng banget akhirnya kamu setuju. Walaupun cuma dua hari, seenggaknya kita ada waktu berdua. Sebenarnya ini program juga sih."

"Program? Program apa, Mas?"

"Program buat punya baby. Aku udah pengin banget punya anak. Kamu nggak keberatan kan, sayang? Atau kamu masih mau nunda lagi?"

Safina terkejut. Dia terlihat kikuk. "Em, enggak kok, Mas. Iya, aku setuju. Aku juga pengin secepatnya punya anak."

"Makasih, sayangku. I love you." Bagus memeluk Safina erat.

Hayoo kira-kira Safina sama Bagus mau honeymoon ke mana ya 😁 Ketahuan sama Marya gak nanti🤔

Aku Bukan Pelakor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang