Tiga hari sejak kenyataan pahit terungkap, Rembulan semakin jarang melihat neneknya di rumah. Beliau selalu bekerja dari sebelum senja hingga pukul 9 malam. Hal itu membuat Rembulan dilingkupi kekhawatiran yang berlebihan terhadap kesehatan neneknya.
Dia juga khawatir dengan pola makan neneknya yang memburuk tiga hari belakangan. Beliau jarang membawa bekal yang Rembulan siapkan, lalu pulang langsung menuju kamar tanpa makan.
Rembulan menghela napas gusar, dia menutup buku pelajarannya dengan kasar akibat tidak bisa fokus. Pikiran dan hatinya merasa gundah.
Uhuk..uhukk....
Rembulan langsung berdiri, begitu mendengar suara batuk dari kamar sebelah. Dia menuju dapur mengambil segelas air putih, barulah menengok neneknya. Rembulan nyaris berteriak ketika melihat neneknya duduk dilantai sambil terus batuk-batuk menahan sesak di dada. Dia membantu Nenek Samatha untuk minum beberapa tegukan, kemudian dia bantu neneknya duduk dipinggir ranjang.
Rembulan memperhatikan neneknya sembari mengusap punggung rapuh wanita tua rentan itu.
"Nenek sakit apa?" Tanyanya khawatir.
"Nenek cuma masuk angin." Ujar Nenek Samatha dengan suara parau yang dibuat setegar mungkin.
Rembulan mengangguk, walau dalam hati dia tidak yakin dengan ucapan neneknya. Memutuskan tidak hanya diam saja, Rembulan berkeliling rumah untuk mencari obat-obatan yang bisa neneknya minum, tetapi sayangnya dia tidak menemukan apa pun. Dia hanya menemukan obat batuk yang sudah tak layak minum.
Gadis itu mengembuskan napasnya, dia mengambil beberapa lembar uang dari dalam celengan. Tidak apa, toh lagipula dia menabung juga untuk berjaga-jaga jika hal seperti ini terjadi. Sebelum pergi ke apotek, Rembulan berpamitan pada Nenek Samatha. Dia membantu nenek untuk berbaring nyaman di kasur selagi dia pergi.
"Hati-hati ya, lan."
Rembulan tersenyum, "iya, nek."
Usai berpamitan, dia keluar tanpa mengabaikan keamanan rumah. Rembulan pergi dengan sepeda. Dia mengayuh sepeda kesayangannya melewati jalan gelap dengan sedikit penerangan.
Tentu saja Rembulan takut, tetapi hanya ini jalan tercepat yang bisa dia lalui. Untunglah di balik kesunyian malam ada hal-hal menarik yang membuat Rembulan merasa sedikit lega. Seperti benda-benda langit yang indah, angin sepoi-sepoi dan lampu penerang jalan.
Rembulan kian laju mengayuh sepedanya. Latihan sepedanya menimbulkan bunyi yang cukup bising di tengah kesunyian seperti ini. Bagus, setidaknya ada hal yang bisa dia dengarkan selama perjalanan.
W.o.W
Rembulan kembali dengan lima jenis benda yang dia beli di apotek. Pertama ada Antangin, obat batuk, kapas, obat merah, dan salep. Dia membeli itu semua untuk berjaga-jaga bila diperlukan pada kemudian hari.
Melewati jalan yang sama, terapi kembali dengan suasana yang berbeda. Ketika melewati jalan ini untuk kedua kalinya, Rembulan merasakan perasaan takut lebih dari sebelumnya. Tiga lampu yang sebelumnya menerangi jalan justru mati membuat jarak pandang Rembulan mengecil.
Rembulan berusaha untuk berpikir positif, mungkin saja lampu-lampu itu mati karena usia yang tua. Rembulan mencoba tenang, tetapi bulir-bulir keringat dingin keluar dari pori-pori kulitnya. Malam, yang seharusnya terasa dingin, justru terasa pengap bagi Rembulan. Padahal dia lupa memakai jaket dan hanya memakai piyama berbahan tipis. Karena, terburu-buru Rembulan tidak sempat memperhatikan penampilannya.
Ditengah-tengah rasa takutnya, Rembulan dikejutkan oleh kehadiran seekor kucing hitam yang hampir dia tabrak. Suara decitan antara ban dan rem memecah kesunyian malam karena seekor kucing yang melompat dari pagar sisi kiri jalan dan mendarat di jalan depan Rembulan. Telat sedetik saja mengerem, kucing itu akan terlindas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Gadis Cupu [END]
Teen FictionWarning mengandung genre violence! Rembulan Cahyaningsih namanya, kerap dipanggil Rembulan atau cupu sesuai penampilannya. Tidak secantik bulan, penampilannya begitu sederhana. Kadangkala, Rembulan ingin mengeluh. Namun, dia tidak memiliki tempat u...