Siapa F?

12.6K 1.2K 315
                                    

Aku masih menangis, melihat foto-foto Aurel di depanku. Rasanya dadaku sesak, di iringi dengan penyesalan yang sangat mendalam. Andai saja, aku mampu menyelamatkan Aurel. Mungkin, Aurel masih di sini bersamaku sekarang. 

Foto-foto itu mampu membuatku mengingat kembali kejadian-kejadian itu. Kejadian begitu pahit. Dan seumur hidupku, tidak akan pernah aku melupakannya.

Aku bukan sahabat yang baik. Aku gagal menjadi sahabat terbaik untuk sahabat pertamaku, Aurel.

"Hiks.... Aku memang bodoh... " gumam ku. Penyesalan begitu menyelimutiku kali ini.

Apa ini? Yang dirasakan oleh Aurel dulu? Atas rasa bersalahnya kepada Tiara? Oh Tuhan, aku bodoh sekali. Demi apapun, aku sangat menyesal. Andai saja waktu dapat di putar. Pasti aku lebih memilih keselamatan Aurel dari pada keselamatan ku.

"Maafkan aku, Aurel. Aku bukan sahabat yang baik untuk kamu," gumam ku masih dengan air mata yang menetes.

Pintu kamarku terbuka, aku mendongak kaget. Lalu seseorang itu sedikit berlari kecil ke arahku.

"Abi?" ucapku.

Abi langsung memeluk tubuhku. Dengan posisi aku yang masih duduk di ranjang. Dan Abi yang berdiri, begitu erat pelukannya.

"Hiks... "

"Kamu kenapa?" tanya Abi dengan lembut. Aku menunjuk foto-foto Aurel tadi yang berserakan di atas ranjang. Dengan masih menangis.

Langit mengambil foto tersebut. Ia juga membaca note yang tadi ada di situ. Tangannya memeras note tersebut. Dan langsung memelukku lagi.

"Hiks... Aku bukan sahabat yang baik," ucapku menangis dalam dekapannya.

"Engga Ser, kamu udah memberikan yang terbaik. Ini semua pilihan Aurel," ucap Abi. Mengecup Puncak kepalaku.

"Tapi.... "

"Stttt... Gak ada tapi-tapian. Kamu gak salah." Ucapan Abi membuatku sedikit tenang. Abi memasukkan semua foto-foto itu kedalam kotak.

"Biar aku bawa foto-foto ini," ucap Abi. Aku mengangguk, tangan lelaki itu terulur untuk mengusap air mataku.

"Jangan nangis lagi. Aku gak suka, liat kamu nangis kek gini," ucap Abi menghapus air mataku.

Abi duduk di sebelahku, sementara aku baru menyadari sesuatu. Aku menatap Abi, lekat. Bagaimana bisa dia sampai di kamarku?

"Bentar, kenapa kamu bisa ada di sini? Kan kamu lagi tugas."

"Lupa. Aku belum cerita, jadi aku ambil cuti. Begitu aku tau kamu di teror, aku benaran khawatir sama kamu," ucap Abi menjelaskan semuanya kepadaku.

"Kamu tau aku di teror dari siapa?" tanyaku lagi, sungguh sangat penasaran.

"Bawel ya, kayak wartawan," ucap Langit seraya tertawa, tangannya dengan jahil mencubit pipiku. Aku memajukan bibirku kesal, padahal aku sedang bertanya serius.

"Ihhh... Sakit tau!" seruku mencoba menjauhkan tangannya dari pipiku.

"Badan gak gendut. Tapi pipinya kek bakpau gini," ucap Abi dengan senyuman lebarnya.

"Abi..... Jawab pertanyaan aku," ucapku. Menghiraukan ucapannya.

"Mama tadi pagi nelpon aku," jawab Abi

"Mama?" tanyaku bingung.

"Mama kamu," ucap Abi malu-malu.

"Kok manggilnya Mama?" tanyaku meledeknya. Abi salah tingkah, raut wajahnya memerah.

"Kan... Kan Mama mertua," jawabnya dengan gugup.

Seketika aku tertawa mendengar ucapannya. "Masih lama, kali. Iya kalau jodoh. Kalau enggak?"

DEATH  2 (Berpetualang Ke Alam Gaib)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang