Pelet

9.8K 1.2K 257
                                    



Aku hanya diam, pandangan mataku masih lurus ke depan. Melihat Abi yang tengah bercanda gurau dengan seorang perempuan. Sepertinya, aku pernah melihat perempuan itu. Tapi dimana? Aku mencoba mengingat-ingat namun, sudah terlanjur lupa.

"Lo gak mau coba samperin mereka?" tanya Haris, aku mendongak menatap Haris.

"Gak perlu," ucapku lirih.

"Ser, lo gak....."

"Jalan Ris, positif thinking aja. Siapa tau, dia temannya Abi, kan? Atau mungkin saudaranya Abi," ucapku memotong ucapan Haris. Padahal aku sudah yakin, kalau mereka berdua ada hubungan lain.

Haris hanya menurut, lalu melajukan mobilnya lagi. Aku mencoba untuk mengalihkan pandanganku. Dan menjernihkan pikiranku, belum saatnya berpikir tentang Abi. Masih banyak hal yang harus aku pikirkan, terutama masalah Tiara, betul bukan?

Kami memutuskan untuk mampir ke supermarket. Karena, dari kemarin kami belum belanja persediaan makanan. Haris memarkirkan mobilnya. Aku membangunkan Mia, karena aku baru tau, hobi Mia adalah tidur. Entah kenapa setiap dalam perjalanan Mia tertidur terus, seperti orang yang kurang tidur, di malam hari.

"Udah nyampe ya?" tanya Mia mengerjapkan matanya.

"Lo pelor banget Mi, heran gue," cibir Haris. Aku tersenyum mendengarnya. Sementara Mia mengerucutkan bibirnya sebal.

"Duh, namanya juga ngantuk," ucap Mia seraya mengelap wajahnya dengan tissu.

"Yang bersih, iler lo tuh masih ngejiplak!" ucap Haris lalu tertawa.

"Sialan lo Ris!" ucap Mia seraya menepuk bahu Haris kuat.

Kami turun dari mobil. Langsung masuk ke supermarket tersebut. Haris mengambil troli belanjaan. Dan kami mulai memencar untuk mencari kebutuhan makanan.

Mia dan Haris, entah kemana. Sementara aku, menyusuri rak pembalut. Untuk stok pembalut tentunya. Aku menyipitkan mataku, ketika melihat seorang Ibu-ibu yang membawa belanjaan. Bukan, bukan karena apa yang dia bawa.

Tapi karena, sosok makhluk kerdil yang selalu berjalan mengikutinya. Makhluk kerdil, botak, itu menatapku. Seraya mengulurkan lidahnya yang panjang. Ia menyeringai.

"Kenapa Mbak?" tanya Ibu-ibu itu kepadaku. Mungkin, beliau risih dengan aku yang terus saja menatap beliau.

"Eh, enggak pa-pa," ucapku lalu fokus kembali memilih pembalut di depanku.

Ibu-ibu itu melipir, pergi dari sampingku. Dan aku, melihat kembali Ibu-ibu itu. Bersama 'peliharaannya' kali ini, tuyul itu di gendong ke belakang.

Tidak heran, jika di kota masih saja ada orang yang memelihara tuyul seperti itu. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku. Aku mengambil sebuah pembalut yang sedari tadi ku cari-cari. Namun, saat tanganku memegang pembalut tersebut, tangan lain juga mengambilnya.

Aku mendongak, menatap sosok lelaki jangkung di sebelahku. Tinggi ku hanya sebahunya. "Kak Satya?"

Lelaki itu, menarik tangannya. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan ekspresi sedikit pun. "Kak Satya kenapa di sini? Ngikutin gue ya?" ucapku.

"Dih, ini tempat umum kali," ucapnya dengan nada bicara malas.

Aku terdiam, iya juga. Ini tempat umum, kok aku jadi kepedean gini ya.

"Lo emang kepedean banget," sahut Kak Satya.

"Ha?"

Apa tadi ucapnya? Kenapa dia bisa mendengar isi hatiku. "Kok Kak..."

"Minggir deh, gue lewat," ucapnya memotong ucapan ku. Ia juga mengambil sebuah pembalut di rak pembalut tadi.

"Kak! Tunggu, gue belum selsai bicara." Aku mengejarnya, sampa di depan kasir.

DEATH  2 (Berpetualang Ke Alam Gaib)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang