Sometimes you have to accept the fact that certain things will never go back to how they used to be.*
Langit telah mengganti warna setelah aku menuntaskan pekerjaan. Napasku terhembus pelan, dengan arah mata menembus jendela kaca gedung kantorku. Cahaya sore masuk, menyorot meja kerja—menerpa pada sebuah bingkisan yang belum kubuka sejak Dira memberikannya tadi siang. Apapun itu, aku yakin, aku nggak akan kecewa dengan pemberiannya.
Dira punya selera yang bagus dan tidak perlu kuragukan lagi kualitasnya. Aku selalu percaya pada pilihannya. Dia sangat pemilih dan penuh perhitungan ketika membeli suatu barang. Lando pasti kewalahan menemani istirnya berbelanja. Dan tentu aja, Lando nggak akan keberatan. Dia rela melakukan apapun agar tetap berada di samping Dira.
They're become a happy couple now.
Aku tersenyum miris, sahabat macam aku yang justru merasa sedih di atas kebahagian sahabatnya sendiri? Namun, sebagaimanapun aku menguatkan diri, rasa sakit itu tetap mengoresi hatiku tiap kali terjebak dalam hening seperti ini.
"Ren," aku menoleh, mendapati seraut wajah Tari yang menyembul di balik pintu sambil menyandang tasnya. Siap untuk pulang. Gimana pun kondisinya, Tari selalu menjunjung tinggi pulang tepat waktu daripada datang tempat waktu. "Gue nebeng lo ya? Mobil gue masih belum beres juga nih. Bete banget gue padahal katanya udah bisa gue jemput sore ini."
Aku tersenyum, lantas mengangguk, sedikit geli ngeliat tampang Tari yang ditekuk. Dengan gerakkan cepat membereskan barang-barangku sebelum akhirnya turun bersamanya melalui lift.
Tari terus mengomel soal mobilnya, baru berhenti saat masuk ke dalam mobilku. Kebetulan aku dan Tari tinggal di gedung apartemen yang sama. Lebih tepatnya, Tari baru pindah dua bulan ini. Hal itulah yang menyebabkan kami jadi bertambah akrab.
Kendati kami masuk perusahaan di tahun yang sama bersama Dira. Aku nggak cukup dekat dengan Tari. Selain karena beda divisi, Tari nampak sangat dekat dengan Dira. Jujur aja, aku sempat merasa Tari mengambil semua perhatian Dira dariku. Mereka selalu berdua setiap di kantor dan Dira juga nampak nyaman dan luwes saat bersama Tari.
Apalagi kesibukkanku cukup menyita waktu sehingga aku jarang bisa hangout bareng Dira. Kuakui, aku memang ambisius mengejar karir, aku rela kerja siang malam untuk membuktikan kinerjaku. Tahu akan tujuanku, Dira mungkin nggak mau ganggu, lalu dia menemukan Tari yang begitu mengerti dirinya. Lambat laun aku merasa seperti outsider di antara mereka dan perlahan-lahan mulai mengasingkan diri.
Sejak dulu, satu-satunya teman yang aku punya hanya Dira. Aku selalu mengikutinya kemana pun dia pergi. Entahlah, dari semua anak kelas yang ingin berteman denganku, justru aku begitu ingin berteman dengan Dira. Mungkin karena hanya dia nggak yang tertarik temenan sama aku—di saat semua anak kelas, mendekati mejaku dan mengajakku berkenalan. Atau mungkin juga, karena hanya Dira yang mau berteman denganku tanpa maksud lain.
Ditambah lagi aku intorvert. Sulit buatku untuk dekat dengan orang baru. Aku nggak begitu pandai dalam bergaul dan selalu banyak diam setiap kali di perkumpulan. Makanya aku terkadang iri dengan Dira yang begitu gampang mendapatkan teman. Sifat bawelnya bikin suasana jadi rame.
"Gue dikasih tuh anak jam pasir, buat apaan coba? Mending dia kasih mentahnya ke gue deh." Tukas Tari saat melirikku yang meletakkan bingkisan yang dikasih Dira ke jok belakang.
"Jam pasir dari Santorini kan beda, Tar." Balasku yang di balas oleh putaran bola mata olehnya.
"Mau dari Santorini kek, Belgia kek, tetap aja nggak ada gunanya di gue. Masih gunaan di ngasih sekotak kondom ke gue kayaknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
You Think I'm Pretty
ChickLit[COMPLETED] Melupakan seseorang yang dicintai bukan persoalaan yang mudah. Setidaknya ia sedang berusaha. Pun bagaimana, Irene tidak bisa menyimpan perasaaan pada mantan pacarnya tersebut. Sebab, sekarang mantan pacarnya telah menikah dengan sahabat...