•44 •introgasi

5.9K 1.1K 320
                                    

"Sampai kapankah kau akan bungkam seperti ini?"

Richard masih mencoba menahan amarah di dalam dadanya yang semakin terasa memuncak, tetap memegang kendali diri. Kelopak matanya untuk sesaat terpejam rapat, mengepalkan kedua tangan lalu membuang nafasnya dengan amat perlahan. Jika saja ia tak mengingat kedudukannya sebagai seorang Raja, mungkin ia sudah melakukan segala macam cara untuk membuat Faresta bicara. Meskipun dengan kekerasan sekalipun, ia akan lakukan itu.

Tidak.

Jika saja ia tak peduli dengan kedudukan yang tengah disandang olehnya, mungkin saja ia sudah menghabisi pria itu sesaat setelah ia membuka pintu kala itu. Sama seperti yang ia lakukan pada para bandit yang pernah menyerang. Tetapi, tidak bisa. Kedudukan yang ia sandang membuatnya urung melakukan.

Perlahan, Richard mengembus nafasnya, membuang kekesalan. Kelopak matanya kembali terbuka, menatap tepat ke arah si pria yang berbalik menatap tanpa ekspresi, tanpa rasa hormat. "Sekali lagi kutanyakan padamu, Wahai panglima," ucapnya dengan penekanan kini, kembali memulai pembicaraan. "Apa sebenarnya motif yang mendasari  pengkhianatan ini? Bisa kau jelaskan padaku?"

"...."

Hening.

Faresta masih bungkam, terlihat enggan berkata meskipun hanya sepatah. Tentu, hal tersebut kembali membuatnya begitu geram, menyulut emosi. Terlebih ketika ia mengingat jika Ratu yang begitu ia cintai masih terbaring tanpa ada tanda-tanda akan membuka mata, membuatnya jelas dilanda kecemasan juga ketakutan yang berlebih.

Tak ada yang paling ia takutkan di dunia ini selain ditanggalkan oleh pria kecilnya, begitu tak ingin hingga hati rasanya ikut menyesak seolah ada ribuan batu yang menghujam dadanya. Tak perlu ditanya seberapa menyesalnya ia, karena semua mungkin tak akan terjadi bila saja ia tak pergi siang itu. Harusnya dia juga tahu, tak ada manusia yang benar-benar bisa ia percayai dengan penuh.

Tangan kanannya kembali terangkat, lalu membuat isyarat pada dua pengawal lain tuk kembali mencelupkan tubuh Faresta yang tengah terikat pada kursi kayu ke dalam sebuah sumur dangkal berair keruh yang memang sengaja dibuat sebagai alat untuk mengintrogasi yang bersalah.

Terdengar suara Faresta yang seolah berusaha menahan nafas, namun itu semua sama sekali tak membuat perasaan sang Raja menjadi luluh. Tidak. Mengingat apa yang telah diperbuat oleh panglima kepercayaannya itu benar-benar melukai hatinya.

Dia benci pengkhianatan.

Dia membenci segala bentuk pengkhianatan.

"Angkat."

Satu menit dan Richard kembali memberi perintah untuk mengangkatnya.

Faresta terengah, namun tatapan matanya berkilat-kilat tajam kepadanya. Richard memutuskan untuk mendekat, menatap penuh dominasi si panglima, membalas tatapan tersebut lebih tajam bahkan dari sebuah mata pisau manapun. Ingin rasanya ia segera menebas kepala si pengkhianat ini, membalaskan segala yang telah diperbuat pada Ratunya. Namun, itu bukan cerminan sosok seorang Raja yang bijaksana, ia tak boleh bertindak gegabah.

Lagipula, masih banyak hal yang harus ia usut terlebih dahulu.

Karena,

Bukan tidak mungkin orang lain ikut terlibat.

"Apa ka--"

"Dia bukanlah seseorang yang pantas kau jadikan seorang Ratu, Yang Mulia. Hamba rasa dia bukanlah orangnya, leluhur telah salah memilih."

Richard lantas tertawa, terkesan tengah mengolok. Dia melangkah lebih dekat, senyumannya seketika sirna. "Pantas atau tidaknya dia menjadi seorang Ratu di matamu itu tidaklah penting untukku, Wahai Panglima," ujarnya mantab. "Dia kupilih sebagai seorang Ratu bukanlah hanya karena leluhur yang menuntunku, tetapi karena aku juga menginginkannya."

raja chanyeol •chanbaek• [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang