•47 •hari eksekusi

5.5K 1.1K 155
                                    

Gue gak mau percaya.

Tapi, apa yang ditemuin di dalam kamar ibunya Richard bikin kita semua kaget dan gak nyangka.

Terlebih, Richard.

Rahangnya mengeras, kepalan tangannya menguat dan tatapan mata itu jelas keliatan kecewa juga terpukul. Wajah yang biasanya itu keliatan penuh senyum, seketika menghilang. Tapi di satu sisi, gue juga bisa ngerti sedikit. Gak ada satu orangpun di dunia ini yang gak bakal sakit hatinya kalo tau orang yang dia percaya banget justru berkhianat, pasti sakit dan nyeseknya gak main-main.

Gue sendiripun ngerasa kecewa dan juga sedih. Gak mau percaya tapi semua bukti udah jelas di depan mata. Botol kecil berisi racun itu beneran ada di kamar ibunya dan udah diperiksa sama si Will selaku tabib. Cairan berwarna pekat itu berhasil ditemuin sama para pengawal yang dikepalai oleh Andreas atas suruhan Richard tepat di baaah bantal, terselip di dalam sarung bantalnya.

Mereka semua menggeledah seisi kamar saat itu juga buat nemuin barang bukti yang lain.

"Aku tak pernah menyangka bila Ibunda bisa melakukan perbuatan sekeji ini." Richard memulai, sorot matanya keliatan terluka. "Apa menurutmu memang inilah yang harus kau melakukan, Ibunda? Haruskah? Tidak bisakah kau menerima dia yang telah kupilih ini dengan sungguh-sungguh?" katanya lagi, kali ini sambil natap Ibunya yang geleng-geleng kepala, menatapnya dengan raut kecewa yang sama.

Wanita itu mencoba mendekat, tapi Richard justru mundur dan memilih untuk menggenggam tangan gue lebih erat lagi. Badan besarnya dengan cepat nutupin gue, seolah dia gak mau ibunya deket-deket sama gue. Dua orang penjaga juga bergerak cepat buat megangin tangan Ibunya, sesuai dengan perintah.

Bisa gue denger helaan nafas berat dari Richard. "Sesuai hukum yang berlaku di negeri ini, bagi siapa saja yang berlaku salah akan mendapatkan hukuman yang setimpal. Tidak peduli jika dia seorang rakyat, ataupun anggota kerajaan."

"Tidak! Dengarkanlah dulu penjelasan Ibunda, Putraku!"

"Racun itu... benar-benar ada di dalam kamar Ibunda." Richard ngegantung ucapannya. "Buktinya sudah jelas ada di depan mata."

Bibir bawah, gue gigit agak kuat. Jujur aja, gue gak tega pas ngeliat Ibunya Richard sampai berlinang air mata, berusaha buat ngedeket dan bersimpuh di kaki anaknya sendiri. Rasanya gue kayak ikut ngerasain rasa sakit yang dialamin sama Richard saat ini, nyelekit sampai ke dalem-dalem. Tangan yang menggenggam tangan gue itu bahkan kian erat, makin mengeras rahangnya.

Richard mencoba buat tetep tegar di situasi begini, berusaha buat tetep adil dan bijaksana dalam bertindak sebagai seorang Raja.

Lengannya gue sentuh, agak gue tarik pakaiannya buat narik atensi. Richard noleh ke arah gue yang ngedongak ke arahnya, natap dia dengan tatapan sendu. Gak lama telapak tangan gue udah ada di pipinya, ngusap lembut daerah itu dengan harapan kalo apa yang gue lakuin ini bisa setidaknya bikin dia ngerasa lebih tenang. Dia juga gak bilang apa-apa, cuma natap ke dalam mata gue lama banget seolah lagi mencari sesuatu.

Ibu jemari tangan gue bergerak, nyapu daerah itu sekali lagi. "Aku baik-baik saja," bisik gue. "Berilah waktu untuk Ibund menjelaskan, dia pasti memiliki alasan dan kau harus tahu, Richard."

Hening.

Baik gue maupun semua orang yang ada di ruangan inipun gak ada yang berucap sepatah kata, hanya samar terdengar isakan yang tertahan.

"Eksekusi akan dilakukan esok hari, di depan semua rakyat di negeri ini."

Richard mengalihkan tatapannya kemudian berkata,

"Tapi sebelum itu, akan kuberikan waktu untuk Ibunda menjelaskan semuanya," lanjut Richard.

Pasti berat banget buat dia memutuskan, terlebih dia yang bersalah adalah orang yang begitu berharga buat dia.

raja chanyeol •chanbaek• [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang