9_Rasa Sesak

51 5 17
                                    

Aurora tiba di rumahnya setelah selesai mentraktir teman temannya. Ia menatap sebuah bangunan megah yang mungkin orang akan menatapnya dengan iri.

Namun tidak bagi Aurora yang tengah berdiri menatap bangunan ini. Tatapannya menyiratkan bahwa ada sebuah luka yang menganga di hatinya yang mungkin tidak bisa sembuh seutuhnya.

Namun apa boleh buat takdir mengatakan bahwa ia harus kuat. Hingga tanpa sadar benteng yang ia tumbuhkan membuat orang yang dulu mengenalnya sekarang menatapnya berbeda.

Tidak terasa setetes air mata menetes mengalir di pipinya. Aurora yang sadar langsung mengusapnya dengan kasar dia tidak mau dianggap lemah hanya sahabatnya itu yang tau bagaimana lemahnya Aurora.

Walaupun disembunyikannya tetap saja Satya pasti akan mengetahuinya. Satya selalu memantau keadaanya dan selalu melindunginya disaat terpuruk.

Lelaki itu sangat peka tentang perasaannya dialah orang yang memotivasi agar Aurora tetap bertahan hidup walaupun tidak sepenuhnya karena dia tapi setidaknya Satya akan bisa dijadikan untuk tempat keluh kesahnya. Mungkin jika tidak ada Satya Aurora bisa saja memilih untuk meninggalkan dunia ini.

Mendesah pelan, Aurora melangkahkan kakinya memasuki rumah yang terlihat kosong dan hanya ada pembantu yang mengurus rumah mewah ini.

Wanita yang mungkin umurnya setengah abad itu menghampiri sang majikan. Sejak dulu ia sangat menyayangi majikannya ini dialah menjadi saksi bagaimana tersiksanya sang majikan.

"Non, non kenapa baru pulang" ucap Bi Yani dengan senyuman.
"Tadi mau traktir Lazaro bi, jadi pulangnya telat masih untung kan Rora pulang ke rumah ini" jawab Aurora.

Bi Yani yang mendengarnya sungguh sesak. Dia berpikir kenapa majikannya itu bisa memilih tetap bertahan di rumah yang membuatnya penuh luka dan Bi Yani selalu ingin agar majikannya itu lebih baik tidak tinggal disini yang selalu membuatnya tersiksa.

Bukan bermaksud untuk tidak membiarkan Aurora tinggal di rumah ini hanya saja setiap kali Aurora disini luka di tubuhnya pasti selalu bertambah jika tidak fisik maka batinnya yang malah terluka.

"Non, ini bawa bekal di kamar jangan sampai non kenapa napa lagi sudah cukup kemarin non dipukul gitu bibi jadi ngeri" ucap Bi Yani.

"Ga apa apa bibi, Aurora kan kuat mana mungkin kayak gitu aja udah nangis" ucap Aurora tegar namun kenyataannya hatinya berteriak. Dia ingin menangis sejadi jadinya namun apa boleh buat menangis saja tidak ada gunanya.

"Yaudah non ganti baju habistu istirahat, perlu bibi bawa makanannya mumpung gak ada tuan dan nyonya mereka lagi mengantar non Dysya ke rumah sakit sedangkan den Endy lagi ada kerja kelompok" ucap Bi Yani.

"Gak usah bi, Aurora gak mau kalo bibi kena marah papa. Aurora udah makan tadi bareng sama Lazaro"

"Tapi nanti malem pasti non laper"

"Kan bisa beli makanan nanti Aurora keluar cari makan aja kalo laper" ucap Aurora lalu berjalan menuju kamarnya.

Berbohong, bohong itu sungguh melelahkan bagaimana ia mengatakan sudah makan kalau kenyataannya ia di cafe hanya mengistirahatkan tubuhnya dengan tenang dan nyaman.

Aurora menutup pintu kamarnya dan tidak lupa untuk menguncinya. Lalu berjalan menuju lemari pakaian mengambil pakaian yang nyaman dan segera mandi untuk menyegarkan tubuhnya yang seakan akan kaku.

Setelah merasa lebih baik Aurora berjalan menuju ke arah balkon kamarnya. Hari telah menunjukan bahwa sang surya sudah berganti oleh rembulan yang bersinar diatas sana. Aurora hanya menatapnya dengan sendu namun senyuman yang tak pernah pudar.

L A Z A R OTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang