1. Comma [,] Part -1

120 6 0
                                    

 Agni sudah lupa bagaimana bentuk vila itu.

Dia ingat kalau letaknya ada di puncak sebuah bukit kecil, lalu pemandangan dari jendela belakangnya menghadap ke sebuah gunung yang karena terlalu dekat, warnanya tidak terlihat membiru. Lalu halaman depan yang dipenuhi berbagai macam bunga. Hanya itu saja sisa ingatannya tentang tempat ini. Terakhir dia menginjakkan kaki di sini, ketika salah seorang sepupunya berulang tahun dan ingin merayakan hanya dengan keluarga dekat sekitar tiga tahun yang lalu. Mereka menginap dua malam dan yang paling dia ingat tentang hari itu; betapa dinginnya udara dini hari.

Agni ingat untuk membawa baju hangat dan jaket karena Tante Lusi meminta untuk memilih beberapa dari lemari ketika mengantarkan kunci vila ini kemarin. Tantenya itu tahu kalau Agni perlu tempat pelarian, tempat sembunyi, mungkin juga tempat untuk pulih selama beberapa waktu. Dia datang dan menawarkan vila ini karena sejak kakeknya meninggal, tempat itu dijadikan semacam harta keluarga yang bisa dipakai siapa pun tapi dirawat dan dikelola oleh Tante Lusi. Dia yang memegang kuncinya. Kadang ada beberapa minggu di musim liburan vila ini disewakan. Namun belakangan, setahu Agni, Tante Lusi tidak lagi menyewakannya karena dia ingin tidak ada satu hal pun dari vila ini jadi rusak.

"Penyewa kadang enggak peduli dengan barang-barang di sana walaupun hasil sewanya lumayan juga untuk menutupi biaya operasional dan perawatan," katanya sambil membantu Agni memilih baju hangat dari lemarinya, "yang merah jambu, lebih cantik," lanjutnya sambil menunjuk ranjang. Di atasnya ada dua jaket dan satu baju hangat rajutan. Agni mengambil baju hangat itu dan melipat asal lalu memasukkan ke dalam koper. Tentu saja tantenya itu akan memilih baju hangat rajutan berwarna merah muda ini karena dia sendiri yang membuatkannya dua atau tiga—Agni lupa tepatnya—tahun lalu sebagai hadiah ulang tahun.

"Apa sudah cukup?" tanya Agni.

Koper yang ada di hadapannya adalah koper ketiga. Dia sendiri tidak tahu kalau perlu sebanyak itu barang bawaan.

"Jaket yang lebih tebal ada?" tanyanya. Dia tidak menunggu Agni menjawab untuk mengeluarkan perintah, "Masukkan satu ... ah, dua. Dua saja!"

Agni menurut dan memasukkan dua buah jaket walaupun dia tidak yakin kalau akan terpakai semua. Dia tidak berencana untuk berjalan-jalan di sana.

"Mamamu mana?"

Dia sekarang melihat koleksi rok dan celana panjang Agni di dalam lemari satu-persatu. Melemparkan ke atas ranjang mana yang dianggapnya bisa dipakai.

"Ke butik dari pagi," jawab Agni pelan.

"Semoga bisa dibatalkan biaya jahitnya dan hanya ganti biaya kain yang sudah terpakai."

Ketika mengatakan itu, dia menoleh ke arah Agni. Tapi gadis itu hanya terdiam, menunduk, melipat rok-rok yang berantakan di ranjang, memasukkan semuanya ke koper. Asal muat saja, asal bisa ditutup nanti.

Agni sudah tidak bisa menangis—kalau itu yang diinginkan Tante Lusi. Dia sudah puas menangis sepanjang pekan kemarin. Mengunci diri di kamar sementara Mama dan Papa mengurusi banyak hal yang tidak ingin dia tahu. Bahkan dia juga tidak ingin mendengar. Ketika Papanya mengantarkan makan malam dan bercerita bahwa dia menelepon banyak relasi yang sudah diundang untuk memberitahu kalau semua ini dibatalkan, Agni memilih untuk menyuruh Papa keluar dari kamarnya. Dia tidak ingin tahu apa pun tentang hal itu. Apa pun.

Awalnya, rasanya memang sakit. Hatinya bukan saja luka, tapi hancur. Dadanya penuh dan—kalau hati yang hancur itu darahnya adalah air mata—maka dia sudah terlalu banyak mengeluarkannya. Sampai suatu ketika, di pagi hari dia terbangun, dia tidak lagi ingin, dan tidak bisa lagi menangis. Dia melihat ke luar jendela dan semua tampak hitam saja. Lalu siang itu, dia mengatakan pada Mamanya kalau dia ingin pergi. Ke mana saja. Entah untuk berapa lama. Keinginan yang kemudian jadi masalah karena dia tidak pernah pergi lama dari rumah ini sekalipun. Mama memberitahu Tante Lusi dan dia pun datang membawakan kunci vila dan kemudian membantu mengepak pakaian, lalu mengantarkannya ke vila ini. Dia melakukannya tanpa banyak bertanya dan Agni sangat menghargai itu. Dia juga sedang tidak ingin ditanya.

Agni berdiri di depan pagarnya sekarang. Berusaha memanggil lagi ingatan yang hilang tentang bagaimana bentuknya. Tante Lusi membuka gembok pagar, kembali masuk ke mobil, dan memarkirnya di dekat beranda depan. Agni mengikuti dari belakang. Berjalan pelan. Melewati kumpulan amarilis yang mulai mekar dan deretan pot berisi kaktus—dia tidak pernah ingat kalau ada kaktus di sini dulu. Ada juga beberapa rumpun mawar merah, alamanda yang merambat di pagar, lalu krisan putih yang berjejer di dekat pintu masuk.

"Kebanyakan orang ke sini untuk melakukan sesuatu bersama agar bisa dikenang suatu saat nanti," kata Tante Lusi sambil membukakan pintu depan. "Belum pernah untuk melupakan."

Agni terdiam beberapa lama. Menghirup aroma perabotan kayu yang menyeruak ketika pintu itu terbuka. Aroma ini masih diingatnya jelas. Ada sejuk yang menyentuh kulit wajahnya ketika dia melangkah ke dalam. "Aku enggak ingin melupakan, Tan," jawabnya, "aku ingin berhenti sebentar saja."

"Seperti membubuhkan koma di tengah kalimat?" tanya Tante Lusi lagi. Dari semua saudara mamanya, Tante Lusi yang paling dekat dengannya. Dia anak bungsu yang usianya tidak terlalu jauh dengan Agni. Agak aneh memang harus memanggilnya 'tante' karena 'kakak' akan lebih pantas dan sesuai.

Agni tersenyum mendengar pertanyaan itu karena tantenya itu menggunakan metafora yang tentu akan dia suka.

"Iya, koma. Bukan titik," jawabnya.

Agni masuk ke ruang tamu. Melihat jejeran lukisan cat air yang dibuat oleh tantenya itu bertahun-tahun yang lalu—ketika dia sedang senang-senangnya belajar melukis. Tante Lusi pembosan. Kalau bosannya sudah datang, dia akan mencari hal baru lain untuk dilakukan. Sekarang dia lebih banyak menghabiskan waktu luangnya dengan bermain tenis. Berkali-kali Agni diajak tapi dia menolak. Agni tidak suka olahraga. Dia tidak paham bagaimana caranya bermain tenis—memegang raket saja rasanya dia tidak akan bisa.

"Apa kamu akan menulis?" tanya Tante Lusi. Mereka berdua berdiri berhadapan di ruang tamu.

"Sepertinya begitu. Mungkin. Akan aku coba." Suaranya ragu—dia tahu. Dia menjadikan hal itu salah satu alasan agar dia bisa tinggal di sini beberapa lama. Sebaiknya dia memang melakukan dan bisa memberikan buktinya nanti.

"Menulislah dan jangan menangis."

"Ya," jawab Agni. Pelan. Suaranya masih juga terdengar ragu.

"Jangan mengingat yang sudah-sudah."

Tapi ketika kalimat itu diucapkan—dan dia tahu kata 'jangan' di depan sebagai larangan—Agni teringat banyak hal; semuanya tentang Adam.

"Aku akan mengusahakannya," jawab Agni.

Tante Lusi menatap Agni lekat-lekat. Wajahnya tampak serius. Agni pasrah. Dia tahu tantenya itu akan menanyakan sesuatu yang selama ini ditanyakan banyak orang dan belum juga ingin dia jawab. Agni memperhatikan wajah tegas tantenya itu, gincu merah tuanya yang memudar dari arah dalam bibirnya, dan rambut pendek sebahu yang dibelah tepi. Banyak yang bilang kalau tantenya ini mirip sekali dengannya. Agni setuju kalau hanya dilihat dari wajah dan postur tubuh—karena sekarang mereka berdiri berhadapan dan tinggi mereka hampir sama. Tapi dari sifat, sungguh sangat jauh berbeda. Tante Lusi kuat dan mandiri. Agni kebalikannya.

"Apa kamu tidak apa-apa?" tanyanya.

"Bagaimana mungkin aku tidak apa-apa," jawab Agni. Selama ini dia hanya diam bila ada yang menanyakan hal ini—karena dia tidak ingin menjelaskan lebih lanjut lagi. "Tapi ini tidak sesakit itu."

"Sesakit apa?" tanya Tante Lusi lagi.

"Sesakit seharusnya," jawab Agni. Dia jujur dan sedikit takut pada kejujuran yang dia ucapkan.

"Jadi?" Tante Lusi sepertinya memahami sedikit banyak yang dimaksudkan Agni. Dia yang pertama bicara dengan Agni ketika dia mengambil keputusan itu. Dia yang pertama teringat untuk Agni telepon malam itu.

"Aku tidak akan apa-apa." Agni mencoba tersenyum dan dia tahu senyumnya tampak dingin.

"Kamu tidak akan apa-apa, aku tahu."

* * *

AmpersandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang