Kembali

367 21 2
                                    

“Semua orang pemeran utama dihidupnya, kalo mereka bilang tidak. berarti aku yang salah menyimpulkan”

Reta

Pertemuan yang kedua kali dengan laki-laki yang aku yakini bekerja sebagai model dan ku ketahui bernama dika. Entahlah apa yang dipikirkannya tentang kertas dan april mungkin dia pikir aku janda yang pengen menikah lagi. Tapi, kenapa juga aku pusing harus menebak-nebak toh tadi aku tak meluruskan kesalahan itu jadi yah terima nasib ajah.

Dering ponsel ku berbunyi, nama yang tertera “Rasyid”

“Hallo”

“Kamu sudah sampai, belum?” tanyanya dengan suara kebisingan

“Iya sudah sampai”

“Tunggu 20 menit yah ta, aku masih ada urusan” terdengar dibalik suaranya “Sayang, aku bagusnya milih lipstik nude atau pink sih” tanya dengan suara manja namun begitu jelas ku dengar

“Ngga usah jemput, aku balik sendiri” dengan ketus ku berbicara setelah mendengar suara perempuan yang ku yakini pacar barunya

“Ta, ngga lama lagi ko” rayunya

 “Ngga usah nanti aku di serang sama pacar mu lagi”

“Ta apa----“ sebelum dia menyepurnakan kalimatnya aku memutuskan telpon tersebut.

Namanya Arahim Rasyid berbeda dengan namanya yang menjurus keagaman orangnya ini playboy cap kampak. Entah kenapa dia mudah sekalih untuk gontak-gantik pacar macam ganti dalaman, setiap dia curhat pasti akan berbeda lagi wanita yang dia cerita hingga suatu hari aku benar-benar dia buat bingung soalnya aku harus menolongnya dengan berpura-pura jadi pacarnya agar wanita yang jadi pacarnya itu meminta putus. Yah itu lah dia

Namun di balik itu semua. Aku senang karena dia selalu ada buat ku entah aku sedih maupun senang. Aku yang sibuk dengan pikiran ku.

Tiba-tiba ada tangan yang menepuk bahuku membuat ku refleks hampir membantingnya “Mbak reta ini aku dika” untungnya dia langsung membuka kacamata hitamnya

“Maaf pak” aku jadi kikuk dengan situasi yang seperti ini

“Aku yang minta maaf, aku yang kasih kaget”

“Hehehe untung belum aku banting pak”

“Iya yah, hampir saja kita jadi pusat perhatian” jedanya sebelum  melontarkan pertanyaan “Belum di jemput?”

Mengeleng “Ngga jadi di jemput pak, ini mau naik taksi” jawabku sambil melangkah ingin memanggil taksi yang stay tak jauh dari tempat ku berada

“Mbak reta gimana kalo aku antar saja. Kebetulan jemputan ku sudah tiba” sambil menunjuk orang yang berjalan kearah kami

“Ngga perlu pak, takutnya merep---“ Tiba-tiba dia mengambil koper ku dan menariknya kearah orang yang berjalan kearah kami. Aku pun tertingal mau tak mau aku tetap mengikuti langkahnya hingga berada di dimobilnya lalu aku hanya berdiri tanpa mau masuk. Dia membukakan pintu “Silahkan mbak reta” ucapnya

Suasana di mobil yang sedikit canggung karna kita berdua tak ada berbicara dan ternyata hanya ada kita berdua di mobil ini. Entahlah itu sopirnya atau apa yang tadi datang membawa kunci mobil ini

Suara ponsel ku mengalung indah “Ibu negara”

“Hallo dek” suara mama dari sebrang telpon “Iya ma”

“Ade sudah sampai?”

“Iya ma, ini di jalan mau ke apartemen”

“Oh syukurlah. Sudah dulu yah de. Mama lagi sibuk” setelah tahu kabar ku mama mematikan telponnya secara sepihak

Mama lagi banyak pesan kali- pikirku

“Dari mamanya yah mbak?” tanyanya memulai percakapan

Sebelum ku jawab ponsel ku berbunyi lagi dan biang kerok yang tak jadi menjemputku menelpon.

Ku arahkan kembali ibu jari ku ke tanda hijau yang ada di benda pipku yang lagi ku pegang. Berat hati untuk mendengar alasan-alasan kenapa dia tak menjemputku

“Ta dimana? aku sudah di bandara nie” langsung to the point dengan suara gos-ngosan

“Ngapain kamu di bandara?” tanyaku balik seolah tak tahu niatnya untuk menjemputku

“Eh anak sedeng yah jemput kamu lah, masa iya pergi cari cewe di bandara” sulutnya dengan sedikit emosi

“Aku sudah dijalan pulang” jawab ku dengan ketus pula

“Eh gila lu yah.... aku rela ningalin cewe ku hanya demi jemput kamu dan kamu dengan gampangnya bilang sudah dijalan. Berhenti disitu ta, aku jemput” cerocosnya dibarengi dengan perintah

“Ogah ah, ini sudah mau sampai juga. Sudah dulu yah... Bye-bye”

Rasyid berteriak-teriak memakiku sebelum akhirnya telpon ku matikan.

“Sibuk banget yah mbak?”

“Engga juga sih pak”

Obrolan lama kelamaan merembet kemana-mana sosok dika yang cool ternyata easy going juga dalam hal ini. dia tak mau tahu banyak tentang privasi orang dan menurutku itu adalah yang harus dilakukan kebanyakan orang agar orang lain tak merasa risi.

Setelah itu akhrinya sampai di apartementku dimana tempat hidupku selama 6 tahun merantau dikota ini yang dulunya waktu kuliah hanya mondar mandir dari satu kos ke kos lainnya, hingga akhirnya saat menghasilkan uang aku bisa membeli satu apartemen walaupun kelas bawa.

“Mbak benar ini tujuannya kan?” suara itu menyadarkan ku

“Oh iya pak, ngga mampir dulu” bersikap basa basi berharap jawabannya tidak dan aku bisa tidur nyenyak menikmati kasur yang aku sudah rindukan

“Nanti lain kali mbak, aku mau langsung kekantor” setelah dia menjawab kelegaan yang aku rasakan

“Oh iya makasih banyak yah pak” sambil menarik koperku yang sudah turun dari mobil.

Setelah basa basi tersebut aku merasa lega bisa berbaring dikasurku tempat teraman yang pernah ku tempati selain rumah mama. Keren juga yah pak dika-dika itu sambil membayangkan wajahnya saat terseyum.

____Tunggu next partnya_____

Sebuah Trauma (Terbit) Tidak LengkapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang