Kehadirannya

300 15 0
                                    


“Dia hadir lagi dan seolah memori itu berputar, berputar seakan mengejekku dan membuat ku terpukul untuk kesekian kalinya”
-Reta-

“Ibu Reta” aku mendonga mencari orang yang memanggilku.

“Ada apa Pak Ahmad?” tanyaku pada salah satu staf kepercayaan bagian keuangan yang masuk begitu saja di ruanganku.

“Maaf Bu, ini berkas yang Ibu minta” sambil menyodorkan tumpukan berkas keuangan yang ku minta dan aku membuka lalu mengangguk.

“Kalo begitu saya pamit dulu Bu” pamitnya.

“Tunggu Pak Ahmad” dan pak Ahmad berhenti “Ya Bu”

“Pak Ahmad tadi saya tidak mendengar anda mengetok pintu, bagaimana anda bisa masuk begitu saja tanpa saya persilahkan” ada ketakutan di raut wajah Pak Ahmad mendengar apa yang ku ucap.

“Maaf Bu, tadi saya sudah mengetuk berkali-kali namun, tak ada respon dan ku putuskan masuk begitu saja” terangnya “Maaf bu kalo saya lancang”

“Oh” angguku dan raut wajah Pak Ahmad sedikit berubah menjadi kelegaan.

“Kalo begitu saya keluar dulu Bu”

Pak ahmad menghilang dari balik pintu dan pikiran ku masih saja terpaku dengan berbagai pertanyaan tentang sosok cinta pertamaku yang mematahkan hatiku dan membuatku trauma berkepanjangan.

Siapa sosok Mbak Risky?

Siapa Cerry?

Bagaimana selingkuhannya yang di ajak kerumah?

Kenapa mesti aku?

Dan berbagai macam pertanyaan yang muncul di kepala ku begitu saja membuat ku tak konsetrasi untuk melanjutkan kerjaan yang menumpuk ini. ku putuskan untuk ke pantry untuk membuat teh melati agar aku sedikit rileks.

“Mbak buat apa?” tanya salah satu OB senior disini yang bernama pak tomi saat aku sudah berada di pantry dan siap membuat minuman.

Aku mengangkat kotak teh melati sambil tersenyum.

“Mbak nanti saya buat kan” ucapnya sambil mendekat.

“Ngga usah Pak ini juga sudah selesai” akuku dan dia mengangguk pamit meninggalkan aku di pantry sendiri.

Suasana hatiku benar-benar kacau apalagi saat Mas Dika meminta untuk aku bertemu dengan Papa. “Aku belum siap Mas” ucapku saat obrolan terakhir kali darinya yang memintah ku untuk bertemu dengan Papa dan anehnya saat ku putuskan lagi dan lagi untuk tak bertemu. Dia seakan menjauhiku dan membuatku sedikit berpikir keras atas apa yang dia bila.

“Sampai kapan kamu begini Ta, bukan cuma kamu terluka tapi Papa mu juga. Berdamai dengan masa lalu itu tidak ada salahnya Ta dan tak akan merubah apapun selain membuat hati mu, jauh lebih lega” tunjuknya pada hatiku dan aku hanya bisa diam tanpa membatah apapun darinya.

“Kamu egois Ta” dan dia memunggungiku karena posisi kita saat itu diranjang saling berhadapan dan karena aku sudah satu minggu di nasehat tapi, tetap saja tak berubah pikiran.

Semenjak itu semuanya berubah kembali walau perhatiannya tak berubah namun, intensitasnya bicara kepada ku sangatlah kurang membuatku merindukan dia yang dulu.

Aku tersadar dari pikiranku yang kacau lantaran ponsel ku berdering menandakan ada sebuah pesan masuk. Ku angkat kepalaku yang ku sandarkan dimeja pantry dan ku lihat pengirimnya nomor baru yang satu minggu ini intens menghubungiku meminta bertemu semenjak pertemuan pertama di bioskop.

Teh melati yang ku buat tak lagi memciptakan uap dan ku yakinin teh ku sudah tak lagi panas. Entah berapa lama aku hanya diam dengan pikiranku tanpa mengerjakan apapun. Aku berperang dengan batinku membuka pesan ini atau mengabaikannya untuk sekian kali. Bisikan demi bisikan begitu tak henti-hentinya tercipta di otak ku yang meminta membuka dengan di hadirin wajah-wajah Mama, kakak-kakakku dan juga Mas Dika. Berbeda saat bisikan itu meminta untuk di abaikan yang hadir bukan wajah orang yang ku sayang namun, pengkhianatan Papa dan membuat ku tak kuat untuk sekian kalinya.

Sebuah Trauma (Terbit) Tidak LengkapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang