Lobi

157 12 0
                                    


“Dua hati satu cinta. Mencoba akan terasa mudah jika kita berdua berjalan beriringan...

Itu kata elo”

-Reta-

 
“Lo anak perawan ngelamun ajah”  sengolnya pada bahuku. Tengoku dan siapa lagi kalo bukan sahabatku Rasyid.

“Apaan sih lo” rajuku karena dia yang tiba-tiba datang “Tumbeng baru pulang, biasanya kan lo belum jam pulang tapi sudah menghilang macam di telan bumi”

Suara kekehan sambil mengacak rambutku “Cielah begini nie ngomongnya, kalo ngga lama lagi ganti status”

Aku hanya diam  dan menikmati orang yang berlalu-lalang didepan kami berdua karena kami berada di lobi. Jam pulang begini, memang yang paling ramai di tempat ini.

Diam yang cukup lama lantas dia bersuara “Kamu berhak memilih” suara yang tak begitu aku tahu apa makna dari kalimat yang dilontarkan dan tak lama dari orang yang ku tunggu datang mengendarai mobil yang sudah aku hapal diluar kepala.

“Aku deluan Syid” pamitku dan dianggukin nya lantas aku berlalu kemobil yang ada didepan ku.

“Nunggu lama?” tanya Dika saat aku sudah mendudukan bokongku di kursi penumpang.

“Nggak” jawabku dengan memasang seatbelt.

“Tadi teman kantor?”tanyanya lagi dan ku jawab dengan angukan “Sudah lama----”

Aku bingun dengan pertanyaannya yang diulang dan sebelum dia menyelesaikan kalimatnya aku sudah menjawabnya “Aku kan udah jawab tadi. Nggak lama ko”

“Hahaha” tawanya mengelegar “Aku belum selesai bicara ta. Aku cuman mau nanya sudah lama kamu berteman dengannya?”

“Maaf” tarikan nafas yang cukup besar karena merasa tertangkap basah dengan memutus kalimatnya “Semenjak kuliah dan dia sahabatku”

Lampu kuning yang berubah menjadi merah mengantarkan sebuah pertanyaan dari laki-laki yang berada di balik kursi pengemudi “Kamu yakin cuman sahabat?” sambil menaikan sebelah alisnya.

“Tentu saja” jawabku dengan lugas.

“Aku laki-laki dan aku tahu bahwa tatapan laki-laki yang mengatas namakan sahabat itu beharap lebih padamu” tatapannya seolah mengunciku.

Setelah ucapan itu aku hanya diam dan tak menangapin. Lampu merah berubah warna menjadi hijau yang berarti tanda jalan. Dia mengemudikan mobilnya dengan mengikuti arus yang padat dengan kendaraan yang seakan berlomba untuk tidak dapat lagi lampu merah untuk kesekian kalinya.

Musik mobil yang biasanya jadi pemecah keheningan saat kecanguhan kini tak terdengar lagi. Dia menepihkan mobilnya dan mengambil tangan ku “Aku tak tahu harus bagaimana lagi sejak pembicaran itu kamu mendiami ku” ada jeda dengan menarik nafas sedikit gusar “Semua akan baik-baik saja jika kamu mau perlahan-lahan percaya dengan namanya pernikahan”  

Sebuah Trauma (Terbit) Tidak LengkapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang