Langkah

207 15 0
                                    

“Tak semua orang tahu apa yang sedang kamu pikirkan. Jika kamu tak mengukapkan atau bertindak maka pikiran mu akan tetap jadi pikiran saja, bukan?”

-Dika-

Aku mewujudkan beberapa pemikiranku tentang gimana seharusnya aku mencoba menarik dia lebih dekat dengan ku.

“Pagi, Ta” sapaku saat dia hendak masuk dimobilnya “Ngapai, ada disini?” tanyanya dengan sedikit nada kaget dan ketus dengan masih berdiri disamping pintu mobil yang terbuka.

“Mau jemput calon istriku”

“Aku bisa berangkat sendiri, lagian kaya Mas ngga ada kerjaan ajah“ sambil mau masuk mobil namun tangan kanannya langsung aku pegang dan menariknya  agar aku bisa menutup pintu mobilnya.

“Sudah, ayo nanti telat”

“Apaan sih Mas?” dia yang mulai kesal karena ku tarik begitu saja dan mengambil kunci mobil dari tangannya lalu mengajaknya kearah mobilku “Mas jangan gini donk” aku hanya diam dan membuka pintu penumpang disamping kemudi. Dia yang cuman diam tanpa mau masuk membuatku angkat bicara “Mau telat?” tanyaku dengan dibarengi alis ku naik.

Tanpa tunggu lama dia nyerah dan masuk begitu saja.  Setelah aku berada dibelakang kemudi “Ta?” panggil ku kepadanya lagi-lagi dia diam kaya patung hingga kuputuskan untuk diam juga.

Tak lama pun tiba dikantornya “Ta, mau disini terus?” tanyaku

“Hmm ah iya” dia sadar dari lamungannya dan menarik nafas seolah akan menghadapi perang maut “Kenapa Mas tahu kantorku?” tanyanya sedikit memiringkan badannya

“Apa yang saya tidak tahu dari mu, Ta?” tanyaku balik seolah menantang

“Sudah lah, cape bicara sama kamu. Ditanya malah nanya balik, makasih atas tumpangannya” berlalu membuka pintu namun lagi-lagi tanganya ku tahan “Sampai jumpah nanti sore yah”

Dengan dia langsung menghepas tanganku “Ngga usah Mas, makasih” pintu yang ditutup begitu keras ketika dia selesai menyelesaikan kalimatnya. Aku hanya mengeleng-geleng melihat reaksinya “Memang benar, hidup ku akan berwarna dengan hadirinya” aku seolah bercakapa dengan diriku sambil tersenyum melihat reaksinya

Suasana kantor begini saja karena awal bulan tidak akan sama dengan akhir bulan. Diawal bulan jauh lebih ringan kerjanya karena kebanyakan di awal ini hampir semua sudah memperbarui kontrak sehingga tidak terlalu memusingkan lagi untuk membicarakana apa saja kekurangan semenjak perusahaan yang ku buat ini bekerja sama dengan sih klien.

Rendy yang masuk tanpa mengketok pintu, membawa tumpukan map yang ku yakini akan jadi arsip namun dia akan mendiskusi pun beberapa yang menurutnya perlu ditambah atau tidak dikurangi. “Dik, beberapa point-point kontrak untuk klien kedepannya perlu ditambah deh misalnya jangka waktu perpanjangan minimal 6 bulan bukan 3 bulan” Terangnya sambil membolak balik isi map yang dipegang.

“Sebenarnya boleh juga sih, cuman saya rasa perlu diskusi bareng klien untuk menambah dan mengurangi point yang kamu maksud supaya tidak ada kesalah pahaman yang berakibat merugikan perusahan”

“Setujuh, gimana untuk kontrak berikutnya kamu hadirlah ngga usah soh sibuk banget” usulnya dibarengi ngeluh. “Iya deh, diusahain” jawabku dan dianggukin nya.

Rendy yang berjalan di dekat mejaku melihat ponselku yang menyala dengan gambar buket bunga mawar serta makanan siang yang di kirim sih pengantar untukku. Belum sempat aku mengambil ponselku rendy sudah mengambilnya lalu mencie cie kan diriku.

“Gini donk, kan enak kalo kamu usaha. Romatis banget sih babang Dika” rendy mengodakku sambil menaik turunkan alisnya “Sudah yah, ngga usah gila deh” jawabku dengan ketus dan malu “Cieee lah perjaka tua macam ABG ajah, malu-malu kucing sampai mukanya merah kaya habis makan bon cabe level 20” ocehnya di barengi tawa mengejek

Sebuah Trauma (Terbit) Tidak LengkapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang