Masih usaha

166 13 0
                                    


“Semua indah pada waktunya, ternyata benar adanya”

-Dika-


Mengenalmu baru saja, namun seakan sudah mengenalmu puluhan tahun. Rutinitas yang baru ini membuatku seakan terbiasa dan membiasakan diri. Ocehan mu yang kadang kesel dengan tingkahku menjadi soundtrak perjalanan ku setiap pergi dan pulang kantor. Kebahagian yang tercipta sungguh luar biasa bagiku.

“Apaan sih mas senyum-senyum sendiri”

Suara itu sontak menbuyarkan lamunanku yang membuatku senyam-senyum sendiri. “Engga kenapa” jawabku sambil fokus mengemudi.

“Eh ko berhenti?” tanyannya dengan ketus.

“Laper” ucapku dengan memegang perutku

“Yah udah aku tunggu disini” jawabnya membuat ku bengong tak tahu jalan pikirnya “Ayo turun” ajakku.

“Aku ngga lagi laper”sambil menyadarkan kepalanya seakan mencari tempat ternyaman untuk menopang kepalannya dan menutup matanya.

Aku hanya diam memandangnya dan berlalu pergi setelahnya. Hanya perlu waktu 20 menit makanan yang ku pesan sudah berada di tangan ku. Aku melihat dia sambil mengeleng kan kepala ku “Dasar keras kepala” gumaku dan menyetel kursinya agar lebih nyaman posisi tidurnya dia mengingau dengan suara semacam cicit yang begitu tak jelas di telingah ku. Ku pandangin wajahnya yang menurutku babyface untuk umur yang mateng namun tanpa banyak polesan yang tersemat di wajahnya. Aku mendekatkan wajah ku ingin mecicipi bibir merah itu.

“Dika apa yang kamu lakukan salah” batinku seolah mengingatkan

Aku mundur dan bersiap mengemudi takut aku bisa khilaf dari ini.

Sudah 20 menit berada di halaman parkiran tempat dia tinggal namun matanya tak kunjung terbuka, tidur lelapnya tak terusik oleh posisi yang tak benar. Ada rasa berbeda saat menatap wajah lelapnya entahlah aku takut secepat ini menyimpulkan bahwa ini cinta atau sekedar saja? Membuatku bingung dan tak mau pusing lebih jauh.

Badanya bergerak mencari posisi yang benar “Aku ketiduran yah?” tanyanya dengan mengucek matanya dengan tangan.

“Bukan ketiduran lebih tepatnya tidur” jawabku yang sedikit kesal namun hiburan untuk mengusiknya.

“Kenapa juga ngga dibangunin?” tantangnya dengan meperbaiki posisi kursinya agar tega.

Aku memutuskan untuk keluar cepat sebelum orang lain berpikiran yang tidak-tdak. Dia berjalan sedikit linglung dan aku hanya mampu melihatnya saja tanpa berniat menolong karena dia tak suka hal itu menurutnya menye-nye. Lift terbuka aku hanya berdiri di sampingnya tanpa bersuara sama sekali dan dia masih mengerakan lehernyanya kesamping seolah merengakan otoknya habis bangun. Di depan pintu yang ku yakini tempatnya dia. Dia merogok tasnya untuk mengambil kunci lalu masuk dan hendak menutup pintunya kembali dengan sigap kaki ku menahannya. “Astaga mas aku pikir udah balik” suaranya pas lihat kaki dan lanjut kita bertatapan.

Aku mengangkat bungkusan yang ada di tanganku “Aku lapar”

“Oalah Mas aku kira singgah di restoran tadi sudah makan” sambil membuka pintu dan mengambi bungkusan yang ada ditanganku.

Aku terpana dengan apartement yang simple namun terpancar elegan dengan bercorak warna putih dan abu-abu dengan furniture yang terpajang di dinding. Ada beberapa foto yang terdapat disamping TV yang berukuran sedang dan salah satu itu fotonya April.

“Mas” panggilnya dan sudah siap semua dimeja ruang tamu itu, piring dan peralatan makan yang lain.

“Ko piringnya cuman satu?” tanyaku.

“Aku masih kenyang” dia berdiri siapa pergi “Mau kemana?”

“Mau ganti baju gerah banget” jawabnya setelah hilang dibalik pintu yang ku yakini itu kamarnya.

Dia datang memakai baju tidur lengang panjang yang bergambar frosen dan duduk disofa yang tempat sebelumnya. “Ko sudah bersih sih?”

“Iya aku sudah bersihin. Itu tinggal punya mu” tunjuk ku pakai dagu.

Dia memakan makanan yang ku sediakan di meja setelah makannya habis dia pergi kedapur menyimpan piring kotornya lantas datang membawa minuman kaleng dan juga kue yang ada dipiring. Setelah meletakan makanan “Mas aku mau ngomong” dan aku hanya berguma sambil menikmati kue yang ada. Dia menarik nafas panjang seakan apa yang mau di bicarakan sangat berat “Aku tak percaya dengan pernikahan” setelah mengucapkan kalimat itu ada kelegaan terpancar dalam wajahnya.

“Kenapa?” tanyaku mencoba mencari jawaban tentang apa yang baru dilontarkan.

Jawaban yang ku butuhku tak kunjung di ucapkan

“Apa karena April?” tanyaku kembali untuk mencoba peruntungan atas jawaban yang kutunggu dan dia lagi-lagi diam tak memberikan jawabana

“Aku terima perjodohan ini yang berarti aku juga terima konsekuensinya” dengan lugas ku sampaikan.

_____

Yaelah Reta diusahain, kamu kapan? wkwkwkw

Sebuah Trauma (Terbit) Tidak LengkapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang