Sebelumnya, maaf yah. Lama tak update tapi, yang muncul malah curcol ngga penting ini...
Belum cukup setahun. Aku mengijakan kaki di kota kelahiran ku. Musibah menghampir ku lagi. Lebih tepatnya semua orang deh yang berada dikota itu.
Yups...
Kota ku pasti kalian tahu. Karena sejak terjadinya musibah itu, kota ku jadi terkenal. Semua stasiun televisi menampilkan nya. Banyaknya #prayofmamuju #prayofsulbar. Membuatnya sempat trending topic.
Bermula saat aku kena PHK di salah satu perusahaan retail swasta di kota palu. Tentunya aku memutuskan pulang kampung. Namun sempat bertahan disana selama 2 bulan berharap penghasilan dari sumber lain ada. Tapi, lagi-lagi harapan tinggal harapan.
Kalo di tanya orang rumah gimana nanggapin aku yang bertahan di Kota perantau tanpa pekerjaan dan dengan adanya virus (covid 19) mematikan itu. Sungguh menyaat hati apalagi nyokap yang tiap nelpon nangis.
Hmm.
Melelahkan dan menguras semuanya. Mulai dari tenaga, otak sampai batin tentunya. Gimana tidak, kalian bayangin ajah. Sudah disekolahin sampai bergelar terus pulang dengan status pengangguran. Well tentunya buat pusing bukan?
Untungnya orang rumah menerima dengan tangan terbuka. Beribu-ribu syukur sempat aku ucapkan memiliki keluarga yang open minded.
"Kita kan hidup di Indonesia gimana dengan tetangga?" Itu sempat jadi masalah dan membuat ku stress. Tapi, Allah banyak memberikan ku malaikat tak bersayap. Beribu-ribu semangat yang disampaikan malaikat tak bersayap kepadaku. Membuat aku lebih bersemangat hidup. Kakak ku sampai bilang "Ngga perlu perduli kata orang, toh mereka bukan yang kasih kamu makan" dan aku membetulkan itu. Sekarang aku berpikir, hidup ini hidup ku yang punya kendali tentunya aku bukan?.
Hingga sampai di bulan January, di awal tahun 2021. Ternyata Allah punya rencana begitu dahsyat buat aku yang pulang kampung dengan status pengangguran dimasa umur yang sudah setahun lagi tak di lirik perusahaan.
Tepatnya jam 01:28 WIB. Gempa dengan kekuatan 6,2 hadir. Awalnya di siang hari, 3 kali goncangan hadir lebih dulu. Beberapa orang di tempat tinggalku sudah pergi mengusih, sejak goncangan disiang hari itu. Tentunya berbeda dengan keluarga ku. Yang memilih stay dirumah dan menganggap semuanya sudah berakhir di siang hari. Naasnya anggap kami salah. Malam itu kami tertidur nyenyak mungkin semua orang pun dijam itu sama seperti kami. Goncangan itu membangunkan kami, membuat kami ketakutan setengah mati.
Tempat tidur yang berada di lantai dasar membuat ku kelimpungan. Berlari kelantai 2 saat mendengar teriakan adikku yang berteriak mengenai nyokap yang dijatuhin lemari prabotan. Aku tak memikirkan lagi gimana goncangan dahsyat itu. Menghambat aku yang berlari melewati tangga dengan keadaan gelap gulita. Di kepala ku hanya ada nyokap dan rintiannya.
Belum lagi setelah nyokap terbebas dari lemari berukuran besar itu. Kita dihadapkan dengan kondisi harus berlari meninggalkan rumah mencari dataran tinggi. Menjauhi laut yang di gempar gemborkan akan terjadi tsunami. Kalian bayangkan gimana kami harus bersama ribuan orang berlari dengan tujuan sama, ingin selamat. Gelap dan hujan menjadi pengiring langkah kami berlari. Mencari dataran tinggi tanpa sempat memakai alas kaki.
Aku tak tahu apa kah banyak orang seperti ku, jika tidur tidak menggunakan BH?. Begitu pun saat aku berlari, aku hanya sempat mengambil daster nyokap dan juga jilbab. Tangisan pilu dan ucapan istighfar selalu terucap dimulut semua orang yang berlari. Oh yah jangan lupakan bunyi klason yang panjang berganti dari roda dua dengan roda empat. Sedramatis itu.
Sesampainya dipucak kita berdesak-desak. Mencari tempat teduh.
Dan kalian tahu, apa yang lagi ku jumpai disana? Sebuah tangisan, darah dan keluhan yang silih berganti. Ada tangannya berdarah, hidungnya terluka bahkan tangisan anak kecil yang meminta tolong buat diselamatkan orang tuanya dirumahnya. Tak terkecuali kakek2 lumpuh yang dipapang oleh keluarga nya.
Boleh kah aku amnesia saja? Soalnya itu semua terekam jelas dikepala cantik ku ini.
Detik berganti menit, menit berganti jam. Hingga akhirnya tempat yang dijadikan persinggahan di dataran tinggi itu kita tinggalkan. Bonceng tiga sebagai sumber ide yang di pakai untuk memecahkan masalah. Kita berlalu ke rumah kakak pertama ku. Yang kebetulan memiliki rumah diatas dataran tinggi.
Perihal barang yang kami bawah tak ada satu pun. Selain bawah diri... Serta kios nyokap waktu gempa itu ternyata terbuka, entah engselnya yang rusak atau apa. Dan naasnya dalam keadaan kita berlari banyak banget orang yang memafaatkan kios mama yang terbuka (pernah dengar orang bah jarah. Itu yang mereka lakukan di kios nyokap). Mengambil rokok, minuman dan berbagai barang sembako yang diambil dengan cuma-cuma. Mungkin istilah sudah jatuh tertimpa tangga. Sangat cocok dengan keluarga ku.
Sakit dan berdarah.
Dan pagi belum nampak. Tapi kami semua saat itu sudah melek. Menghadapi musibah yang ternyata banyak memakan korban. Jarak dari tempat pengusian ke rumah kakak ku. Cukup terbilang jauh. Deretan pemandangan yang selalu kulihat dengan gedung-gedung tinggi, ambruk tak tersisa. Menjelang pagi itu kita sudah bisa dapat saksikan bagaimana hancurnya, musibah itu menimpah semua orang.
Kalian berpikir aku baik-baik saja. Yah aku memang baik-baik saja. Selama 3 hari tak mandi hingga akhirnya lampu menyalah dan air dirumah kakak nyalah pula. Lantaran disana sumur bor. Penampungan PDAM pecah lantaran gempa itu. Maka bersyukurlah dengan orang-orang yang menggunakan sumur bor. Karena itu sangat membantu.
Masalah sembako. Semua cukup cepat, sigap membantu. Pikirku... Karena setelah pagi helicopter berputar-berputar memberi bantuan. Tapi lagi-lagi tidak di dunia persekolahan, di pekerjaan sampai masalah bantuan begini. Orang dalam di perlukan (sistem kekeluarga). Yeh kalian heran begitu pun aku. Bayangin ajah dalam keadaan begini. Masih kental banget yang begitu. Upss harusnya aku tak menulis ini. Tapi, sungguh menganggu ku.
Saluran sembako tak merata menjadi pemicu. Kami sekeluarga susah Karena hanya mengandalkan kios nyokap yang barangnya tinggal sedikit. Kita putuskan untuk keluar mecari sembako. Kalian tahu kami tak ada bedanya dengan pengemis... Gimana caranya meminta beras untuk dikasih. Gimana meminta mie yang dikasih cuman 3 bungkus dengan harga seribuan. Padahal di tempat ku, yang ngusih ada 10 kepala keluarga. Tapi ngga dilirik...
Oh yah itu yang aku rasakan.
Kali ini gimana dengan mereka yang kehilangan sanak saudaranya. Lantaran gempa itu... Dan tinggal di pengusian. Hujan, terik, angin menjadi kawanannya di pengusian. Aduh lagi-lagi kita diminta melihat kebawah. Melihat saudara-saudara kita yang lebih menderita. Karena syukurnya aku mengusih di rumahnya kakakku dan tidur di halaman depan. Tidak pusing jika BAK dan BAB tinggal masuk ke rumah. Tapi ketakutan itu ada. Gimana pas lagi di WC buang hajat eh goyang. Uh melelahkan...
Bersyukur.
Satu kata itu berjuta makna. Gimana kalo aku masih di palu? Gimana nyokap ku saat itu? Apa kah tak tertolong atau apapun itu.
Pasti penyesalan hadir, bukan.
Yah, dibalik musibah yang ku dapat ada makna ternyata.
Ada syukur yang selalu ku ucap. Dengan semua ini...
Uhh jadi mau mewek rasanya.
Cerita ini panjang kali lebar. Tapi, aku tak cerita semua. Takutnya teman-teman muak lagi. Well terima kasih sudah membacanya.
Dan ternyata follow, vote dan komen itu memengaruhi mood kita untuk melanjutkan tulisan yah.
Salam hangat dari aku.
Kalian sehat-sehat yah... Insya Allah semua musibah berlalu berganti dengan syukur tak henti-henti. 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Trauma (Terbit) Tidak Lengkap
RomansPernikahan yang di impikan semua umat namun tak di impikan oleh dua orang asing itu yaitu Amerta Uratmi dan Andika Ranjaya. Memiliki trauma membuatnya tak ambil pusing dengan umur yang selalu bertambah. Namun lingkungan yang selalu punya keyakinan b...