Teman atau lawan

276 18 0
                                    

“I’m not okay, jika kalimat itu yang keluar apakah kalian percaya?”

-Reta-

“Gila yah lho ta” makan siang dikantor adalah rutinitas ku tanpa di temani siapa pun dan tiba-tiba tamu tak di undang datang dan duduk didepan ku sambil mengoceh.

“Apaan sih lho” makanan yang ada disendok ku yang tadinya mau mendarat dimulutku berhenti karena dia menahan tangan ku.

“Kamu tuh yang apa ta, aku jauh-jauh jemput kamu malah tinggalin aku”

“Yang suruh jemput siapa?” tanyaku dan melanjutkan makan ku.

Dia menarik rambutnya seakan melampiaskan amarahnya padaku “Kalo bukan sahabatku sudah aku depak kamu dari muka bumi ini”

“Hahaha rasyid gemesin banget sih kamu macam nasi yang ku makan ini, mau ku keluar lagi deh” setelah meminum aku berbicara sambil memperagakan mual karena omonganya.

“Sudah ta, aku cape berdebat dengan tembok” sambil mengambil gelas yang berisi es jeruk yang belum aku minum dan dia meminumnya seenak jidat “Kamu tahu tidak----“.

Karena kesel minuman ku dia minum aku memotong ucapannya “Tidak”

“Hey aku belum selesai bicara ta” tanganya sebelah menoki kepalaku sedangkan aku hanya cuman bisa meringis dan memegang kepalaku yang ditoki. “Selama 2 hari ini aku dapat mangsa baru lho dan kamu tahu dia sangat berpengalaman di ranjang mana bodynya semok banget kaya gitar spanyol. Betul-betul sangat fantastik banget deh ta” aku yang malu karena banyak yang menengoh kearah kami hanya karena ucapannya yang sedikit mengarah ke vulgar

“Rasyid kamu liat mereka semua, mereka semua dengar apa yang kamu bilang” sambil mengarahkan mata ku ke sekitar dan dia mengikuti arah mataku.

“Emang kenapa memang benar ko itu pengalaman di ran—“ sebelum dia menyelesaikan kalimatnya yang menjuru kantin heboh kembali aku menyeretnya kearah lift. Padahal makanan siang ku belum kandas sempurna namun harus ku tinggalkan sebelum ketakutan ku benar-benar terjadi “Ta, kamu pikir aku kambing, kamu seret-seret begini” rasyid bersuara tak terima karena penampilannya sedikit beratakan karena ulahku.

“Diam lho” perintahku dengan mata melotot dan dia hanya tersenyum seakan mengkodeku. Ternyata benar dia mengkodeku karena ada bos besar disini sedang sama-sama menunggu pintu lift terbuka. Aku dan rasyid yang kacung hanya menyapanya dan mempersilahkan dia deluan masuk kebenda kotak itu.

TIN

“Silahkan pak” itu bukan suara ku itu suara rasyid.

Bertiga dalam kotak ini ramai banget karena simulut mercon (Rasyid) tak pernah berhenti berbicara mulai dari A sampai dengan Z dia bahas semua. Hingga akhirnya dia menanyakan tentang aku yang mau dijodohkan “Ta, kamu sudah ketemu dengan orang yang akan dijodohkan dengan kamu?” tanyanya dan aku hanya bisa membulatkan mataku sambil diam.

Rasyid gila disini ada bos - rintiku dalam hati.

“Siapa mau dijodohkan?” tanyanya pak bos entah kepada aku atau rasyid “Oh ini pak ibu amreta” tunjuknya pada ku. Entah muka ku sudah bagaimana rupanya dengar omongan rasyid kampret yang membuatku harus tunduk terus menerus lantaran kesal dan juga malu bercampur jadi satu.

“Benar, bu Amreta?” pak bos ini pengen aku mengklarifikasi atau apaan sih. Mau tak mau aku mengangkat kepala ku sambil melihat pak bos dan juga rasyid.

Aku yang tegas berubah ciut hanya karena masalah perjodohan sialan ini. Anggukan 2 kali yang ku tujuhkan kepada bos ku dan membenarkan pernyataan rasyid.

“Macam jaman siti nurbaya saja” entahlah bapak yang punya 3 buntut ini mengejek ku atau perihatin pada ku “Itulah pak, tapi keluarganya ibu amreta emansipasi sih pak. Takut anaknya yang ini menghabiskan waktunya hanya bekerja, bekerja dan bekerja” rasyid yang tadinyanya jadi simulut mercon berubah jadi level tinggi jadi kompor meleduk.

Lantai 15 yang biasanya cepat terasa lambat. Entahlah apakah sih kotak besi ini bersekongkol dengan 2 orang yang tak tahu sopan santun membicarakan orang didepannya.

Dasar bapak-bapak rumpi – batinku.

“Betul tuh pak rasyid. Tapi, apa kabar dengan pak rasyid?” pak bos ku menaggapi ucapan rasyid dan menanyakan kembali tentang keputusan rasyid yang sama dengan ku.
 
Aku tertawa terbahak-bahak mengejekin rasyid yang ada didepanku.

“Kalo laki-laki yah wajarlah pak, semakin mapan semakin banyak yang ngantri tapi kalo cewe yang didepanku ini semakin mapan dikarirnya makin tidak ada yang ngatri. Karena takut pak kesaing” jawabnya rasyid seolah memuji kaum laki-laki yang tambah tua tambah banyak yang ngantri dan tentunya berbeda dengan kaum perempuan sepertiku.

Dan dianggukin sama pak bos sambil bilang “Iya juga sih” sambil mengangguk-anggukan kepalanya dan untungnya sebelum rasyid membuka mulutnya lagi kita sudah berada di lantai 15 dan bunyi tanda TIN membuat lega.

Mengucap syukur berulang-ulang kali. Pak bos yang mempunyai ruang kerja yang diujung pamit kekita berdua dan berlalu begitu saja “Teman apa lawan sih lho?” tanyaku pada rasyid di sertai mimik wajahku yang tak suka. Dia yang melihat ku begitu hanya tertawa cengengesan.

Sebuah Trauma (Terbit) Tidak LengkapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang