Jadi sandara?

338 18 0
                                    

“Kamu kenapa? Bukannya perempuan akan lebih lega jika bercerita tentang masalahnya”

-Dika-

Kamu kalo tidak kuat tidak usah pura-pura kuat. Karena itu akan membuat mu sakit sendiri, bukannya? Kalo kebanyakan perempuan akan lebih lega jika bercerita tentang masalahnya kenapa kamu tidak.

Kenapa?

Aku mau, kamu jadikan aku sandaran. Walaupun tak bisa secepat kilat tapi, kamu boleh coba perlahan demi perlahan. Aku akan menunggu walau pun aku tak tahu hasilnya yang jelas kamu mau berusaha. Terlalu sederhana jika aku bilang aku sudah mulai nyaman dengan mu.

“Kita mau kemana?" tanyamu saat sudah berada di dalam taksi yang ditumpangi selesai dari penerbang yang panjang tadi karena delay.

“Ke rumah kita” jawabku enteng masih mengenggam tanganmu.

“Rumah kita?” tanyamu lagi seolah mencari kebenaran apa yang kamu dengar dan aku cuman berguma “Hmm”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Rumah kita?” tanyamu lagi seolah mencari kebenaran apa yang kamu dengar dan aku cuman berguma “Hmm”

“Pakaian ku gimana?”

“Nanti besok aku antar untuk packing

“Tapi, besok aku ngantor”

“Pak singgah ke apartement pavilion permata dulu yah Pak” aku tak menjawab mu melainkan meminta taksi ini singgah di apartemen mu dulu.

Setelah itu kita sama-sama diam. Tiba di apartement mu kamu turun dan aku mengikuti mu “Mas” panggilmu.
 
“Yah?” jawabku sambil melihat kamu membuka pintu apartement mu.
 
“Aku mau tinggal disini” jawab mu dengan sedikit segang “Terus?” tanyaku sambil duduk disalah satu sofa singel yang ada diruang tamu mu.

“Yah aku tidak bisa kerumah mu. Karena aku belum siap dan kamu tahu itu, bukan?"

Aku hanya menaikan alisku dan melihatnya secara intens, dia melangkah masuk ke kamarnya tanpa terganggu dengan diriku yang melihatnya secara terang-terangan. Kuputuskan untuk ke parkiran tempat taksi itu menunggu. Aku memutuskan untuk mengikuti maunya.

“Mas ngga balik?” tanyanya saat aku lagi nutup pintu. 

“Ngga, istriku ngga mau balik” aku memutuskan jalan kearah kamar tidur yang ada di apartement ini dan kebetulan apartement miliknya hanya mempunyai satu kamar maka aku rasa ide bagus untuk tidur disitu. Rasa pegal-pegal baru terasa membuat mataku terasa berat. Hingga akhirnya aku membaringkan diriku di tempat tidurnya “Mas ko tidur sih, ngga pulang ajah. sana” usirnya.
 
Aku tak mempedulikannya, kueratkan pelukan ku pada bantal guli yang ada disamping ku.

Menutup mata dengan mendengarkan dia dongkol mungkin jadi hal baru yang akan jadi rutinitas ku kelak.
 
Perut yang mulai minta di isi membangunkanku dari tidur. Ku buka mata ku dan ternyata kegelapan menyambutku. Tanganku mencari sebuah ponsel yang ku letakan tak jauh dari bantalku. Ponsel yang ku cari akhirnya ku dapat, melihat layar ponsel yang menunjukan jam 7 malam membuatku beringsur turun mencari skalar lampu.

Lampu pun nyalah dan ku langkah kan kaki ku untuk keluar menuju dapur mencari makanan apa yang bisa mengisi perutku yang sedang keroncongan ini. di meja makan terdapat ayam goreng, sayur sop dan juga kerupuk. Lantas tanpa mikir panjang aku menikmati hidangan yang tersedia dimeja makan itu.

Aku tersenyum bangga melihat semua ini. Sepercik harapan mungkin akan ada

Setelah itu semua selesai ku bersihkan sisa piring kotor yang ku pakai tapi, aku tak kunjung bertemu dia. Dimana kah dia, apakah mungkin dia akan menginap ditempat lain karena aku ada disini. Tapi, kenapa? Bukan kah kita sudah bisa seatap karena kita sepasang suami istri. Kalo dipikir-pikir mengenai malam pertama yang harusnya dilakukan pasangan baru mungkin dia belum siap dan aku tak mengapa.
 
Aku akan menunggu sampai tiba waktunya.

Gerakan kecil pada sofa ruang tamu membuatku penasaran. Lampu ruang tamu yang mati juga serta televisi yang hanya menampilkan gambar tanpa suara membuat ku melangkah kesana.

Aku melihatmu sedang pulas tertidur pada sofa itu. Tak ada sinar cahaya dari mana pun selain televisi yang nyalah membuatku tak bisa lihat jelas wajah mu. Aku mengusap keringat yang bercucuran dari dahi mu dan kamu menarik tangan ku seolah tak mau melepasnya sambil mengigau “Jangan pergi, tolong jangan pergi” rintih mu seakan benar-benar sakit.

Aku mengusap rambut mu dengan lembut dengan tanganku yang bebas dari pelukan mu. Perlahan demi perlahan pelukan mu merenggan dan ku putuskan untuk mengangkatmu ke kamar. Selimut yang ku pakaikan kini menutup badanmu dengan sempurna dan aku nampak melihat raut wajah cantik mu yang mengesankan bagi ku. Aku melangkah untuk tidur disofa namun, kamu lagi-lagi mengingau menarik tanganku dan menangis tersendak-sendak  “Tolong aku, jangan pergi aku butuh kamu"
 
“Apa yang sebenarnya terjadi pada mu?” aku bertanya seakan kamu mendengarnya.

Sebuah Trauma (Terbit) Tidak LengkapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang