Tumpukan kertas

228 15 0
                                    


“Saling mengobati. Pasti kalian pernah dengar kata itu, bukan?”

-Reta-

Setelah meningalkan Dika begitu saja tanpa ada kalimat perpisahan lantaran aku sudah kesel dengan dirinya yang tidak sependapat dengan apa yang kuputuskan. Aku kembali menuju kantor karena masih ada 1 jam lagi sebelum jam kantor selesai. Bergeluk dengan kertas-kertas yang ada dimeja membuat ku sedikit lupa terhadap perjodohan itu.

“Ta, Amreta Uratmi” teriaknya siapa lagi kalo bukan rasyid teman kapretku yang selalu buat onar dimana pun berada dengan mulutnya itu

“Astaga nyet, ketok dulu baru masuk. Ngagetin ajah” sambil mengelus dadaku “Yaelah biasanya juga masuk begini kan” pembelaannya dibarengi dengan kekehan

“Teriakan mu itu lo nyet, kamu pikir ini dihutan apa?”

“Sorry, sorry. Pulang yuk” ajaknya

“Emang sudah jam pulang?”tanyaku balik sambil melihat jam pada monitor didepanku

“Gini nie kalo jomblo akut” jawabnya dengan ketus

“Iya, iya cowo player”

Aku membereskan beberapa barang yang akan ku bahwa pulang “Hahaha, Ta gimana perjodohan mu?” tanyanya “Engga gimana-gimana” jawabku sambil melangka melewatinya begitu saja “Jadi kan?” tanyanya untuk kedua kali.

“Aku sih berharap tidak jadi, tapi ngga tahu dengan cowonya” kita berdua sudah berada di dalam kotak yang akan mengantarkan kita kedasar gedung ini “Emangnya kamu belum bicara dengan cowo yang dijodohkan dengan mu?”.

“Sudah dan dia menolak keputusanku untuk membatalkannya”.

“Haaa bagus donk. Kan akhirnya ada yang mau nerima kamu” kertas yang ada ditangan ku ku jadi kan alat untuk ketok kepalanya “Ahkkk sakit ta”

“Alah kertas yang cuman sedikit ini masa iya sakit” aku mulai memacingnya dengan mengolok-golok “Iya sakit lah, itu bukan kertas sedikit tapi tumpukan kertas Ta. Sini tuh kertas supaya kamu rasain juga sakit atau tidak” sambil menarik tumpukan kertas yang ada di tanganku dan untungnya pintu lift terbuka. Aku berlari meninggalkannya “Ta” panggilnya dan ku biarkan saja sambil melabaikan tanganku berdada ria.

Perjalanan pulang yang tak memakan waktu. Membuatku melakukan rutinitas sesampai di apartement dengan mandi setelah itu duduk diruang tamu dengan menyalahkan laptop untuk kembali menulis. Beberapa lembar tulisan, tulisan itu sudah tersusun rapih dan menjadi cerita baru.

Ponselku berbunyi “Hallo... iya Kak kenapa?” tanyaku to the point

“Mama minta kamu minggu depan balik” jelasnya

“Nggak mungkin bisa lah kak, kan 1 bulan lalu cutiku sudah di ambil”

“Yah usahakan lah De, 2 hari ajah. Biar ngga cuti juga ngga apa-apa kan sabtu minggu” terangnya tanpa maksa untuk ambil cuti “Iya deh Kak nanti diusahin, gimana kabarnya Mama, Kak?”tanyaku khawatir dengan keadaan mama.

“Alhamdulila baik, palingan yah gitu ngga mau disuruh berhenti kerja”

“Syukurlah Kak yang penting sehat”

“Yah udah yah, April minta susu nie. Bye-bye adek yang paling cantik setelah aku” ejeknya dan setelah itu panggilan telpon disudahi.

“Ada apa yah harus balik?” tanyaku dengan diriku sendiri.

Ponselku berbunyi lagi tapi bukan dari Kak Linda melainkan dari editor penerbit buku ku yang selesai mengedit minta aku untuk membacanya kembali agar di revisi ulang jika terjadi kesalahan. Disela-sela aku membaca ada tumpukan pertanya-pertanya di kepala ku tentang Dika apa benar kita bisa saling mengobati? Atau hanya untuk saling melukai? Entah lah biar ini mengalir seperti air.

Sebuah Trauma (Terbit) Tidak LengkapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang