Kehangatan

408 16 2
                                    

“Ke pantasan diri mu dihidupku bukan karena aku tapi, lebih tepatnya karena kamu yang berjuang untuk memantaskan diri”

-Reta-

 
“Gimana sudah isi belum?” tanyanya.

“Isi?” tanyaku balik yang tak mengerti arah pembicaraan ini.

“Yaelah De, umur sudah kepala 3 tapi masa iya ngga ngerti sih”

Aku hanya diam tak menanggapi kalimat yang dilontarkan. Bukan tanpa alasan namun beribu-ribu alasan mengenai aku yang tak paham arah bicara yang ini. “Yah udah ngga usah bahas. Dika mana?” tanyanya lagi yang sudah menganti topik pembicara secepat kilat.

“Masih dikantor” jawabku dengan singkat sambil duduk dimeja makan dengan tangan satunya mengenggam gelas yang berisi jus jambu kemasan yang tadi ku ambil di lemari pending sebelum duduk

“Oh lembur yah?”

“Iya, gimana kabarnya Mama Kak?”

“Alhamdulilah baik, ngga rencana balik?” ucapnya di barengi dengan kekehan

“Apaan sih Kak---“ sebelum kalimatku terselesaikan Mas Dika sudah berada di depanku menatapku dengan tatapan yang tak bisa di baca “Mas” panggilku dan Kak Linda di sebrang telpon sudah kegirangan bertanya mulai A sampai Z dan dia pengen berbicara dengan Dika dan aku memberikan ponsel tersebut “Mas, Kak Linda mau bicara”

Mas dika mengambil ponsel yang aku berikan dan berbicara entah apa yang dia bicarakan karena beberapa hal aku sempat melihat dia sedang melihatku.

Ada desiran aneh yang beraksi pada tubuhku walau hanya dengan tatapannya

Aku memutuskan untuk beranjak kedapur untuk mempersiapkan makan malam tanpa harus pusing dengan tatapan dan juga pokok pembahasan yang mereka bahas.

Memang benar aku belum siap dengan status ku yang sudah berubah namun, aku tak mau juga laleh dari tanggung jawab yang ada di pundakku. Memasak makanan dengan menu yang gampang akan jauh lebih cepat mengingat tak lama lagi sudah menunjukan pukul 10 malam. Kuhidangkan semua masakan yang sudah kumasak di atas meja makan dan aku tak nampak Mas Dika ada disana.

Kini tinggal air yang perlu ku sediakan. Tak lama dari aku duduk menatap masakan ku yang sudah siap semua. Mas dika turun dari tangga menunjuh kearahku.

 Mas dika turun dari tangga menunjuh kearahku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Ayo makan” ajak ku

Tanpa katapun dia menikmati makan malam yang cukup sederhana ini. tak ada bahasan apapun hingga akhirnya semua selesai begitu saja.

Aku berlalu kekamar karena dia mengambil alih semua pekerjaan yang akan ku lakukan. Sebelum aku ke kamar kulihat punggung lebarnya itu sedang asik mencuci piring sambil mendendangkan lagu yang tak begitu jelas pengalang demi pengalang kalimatnya. Sungguh nikmat mana lagi yang ku dusta kan?

Tengkurap di atas kasur aku membuka laptop ingin membaca beberapa tulisanku yang belum rampung. Tiba di bab 10 kasur ini bergerak bertandak ada orang selain diriku yang naik dan kulihatnya namun tak ada senyuman selain dia langsung tertidur dan memungingku.

 Tiba di bab 10 kasur ini bergerak bertandak ada orang selain diriku yang naik dan kulihatnya namun tak ada senyuman selain dia langsung tertidur dan memungingku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kenapa? Aku ada salah – pikirku

Mas Dika yang biasanya cerewet menanya kan hal ini dan itu tiba-tiba diam membuatku sedikit kelimpungan. Apa masalah kantor? Atau apa?, aku mencoba mencari dengan berpikir keras menyambungkan satu persatu hal yang menurutku memungkinkan kenapa dia tak secerewet sebiasanya. Namun, tak kunjung aku dapatkan.

Lebih baik aku bertanya tapi, mulai dari mana aku bingung dan membuatku tak konsen untuk menulis.

“Mas” panggilku dengan pelan namun beberapa detik berlalu tak kunjung juga dia menjawabnya membuat kebingungan apa iya dia sudah tidur. Ku putuskan untuk menengokan kepalaku melihat apa kah dia tidur atau belum. Dan benar adanya dia sudah terlelap. Ku dudukan diriku begitu saja sambil memandang laptop yang masih mennyalah.

“Ada masalah mas?” tanyaku lagi seolah dia mendengarnya “Apa aku tak seberarti ini dimata mu Mas? Membagi beban mu saja kamu tak mau dan benar dugaan ku kamu akan menyerah pada akhirnya” dengan sedikit tarikan nafas panjang seolah beban yang ku keluarkan sangatlah besar. Entah gimana keyboard pada laptopku sudah basah, entahlah itu air mataku atau apa, yang jelas ada rasa kosong di hatiku diujung sana sangat kecil dan menyakitkan. Hanya kamu tak secerewet biasanya

Tangan yang melingkar di perutku,

Pelukan di bagian perutku yang selalu membuatku nyaman dan kulihat kesamping ternyata dia sedang menatapku juga. Tatapan itu bertemu “Apa aku sudah pantas?" tanyamu tanpa berhenti menatapku dan tanganmu masih memeluk bagian perutku. Desiran yang menguncang begitu hebat di hati dan juga perutku. Kebanyakan novel yang ku baca ada ribuan kupu-kupu yang bertebrang disana dan membuat desiran itu ada.

Aku tak menjawab, hanya mengeluarkan air mata yang sudah jatuh dipipiku dan tanpa tunggu lama kamu duduk di hadapanku dan menghapus air mata yang ada di pipiku. Kamu membawahku di dalam dada mu, memeluk dan juga mengusap kepala ku dengan lembut.

“Bukannya? Sudah ku bilang aku tak akan menyerah. Jangan meragukan aku lagi Ta” suara lembut dan tegas membuatku mengangguk.

“Aku tidak tahu Ta, kapan aku jatuh hati padamu. Melihat mu menangis karenaku membuatku marah dengan diriku sendiri, jadi berhenti nangis Ta” ada jeda saat mengusap kembali kepalaku “Dan jangan tanya seberarti apa kamu dihidupku. Karena kamu sudah tahu jawabannya, bukan? Ini bukan beban Ta, hanya saja aku merasa. Aku tak bisa membantu mu keluar dari ketakutan mu. Karena hingga di 6 bulan ini kamu tak pernah bercerita apapun kepadaku hingga akhirnya aku tahu dari kakakmu tentang ketakutan mu yang membuat mu susah menerima ku”

“Aku lagi-lagi marah Ta, bukan karena kamu tapi karena aku” melepaskan pelukannya dan mengangkat daguku membuatku menatapnya. Di mata itu aku lihat ada luka dan juga kekecewahan yang tersirat jelas.

“Ma-af” hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku dan tentunya tidak selancar biasanya namun dengan terbata-bata.

Karena dia tak kunjung bersuara aku pun memberanikan diri untuk bersuara walaupun harus sama dengan awal yang terbata-bata “Ma-s pa-ntas”

Setelah mendengar ku bersuara senyum dibibirnya terbit.

Sebuah Trauma (Terbit) Tidak LengkapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang