Minggu yang ditungguh

165 15 0
                                    

“Semarah apapun kamu, tolong jangan menghindari aku. Karena masalah itu di hadapi bukan disimpan sendiri dalam hati”

-Dika-

 
“Kak bajunya dipakai yah” perintahnya dibalik pintu.

Aku cuman berdehem aja dan menuruti perintah dari Ibu karena jikalau tidak pasti tambah panjang banget ocehannya. Kalian pasti pahamkan bahwa ada kalimat bahwa surga itu di telapak kaki ibu maka kalo mau dapat surga yah ikutin apa maunya ibu. Dengar ocehan panjang seharian bukan ide yang bagus buat mood apalagi baru tiba di rumah, orang rumah nanti ikut-ikutan untuk menceramaihiku juga.

“Ayo Kak buka pintunya Ibu mau lihat” tanpa berlama-lama aku berjalan ke arah pintu kamar dan membukanya terlihat jelas senyuman bahagia terpancar dari raut wajah ibu.

Tentunya Ibu langsung menarik ku keluar dan aku melihat keramaian yang tak kudapat subuh tadi. Benar-benar keriukan ini nyata dan membuat ku bingung dengan penampilan mereka semua mulai dari atas sampai bawah sempurna sekali mereka.

“Tunggu, tunggu ini ada apa? bukan kah ini hanya melamar” tanyaku pada diriku sendiri.

“Cepat donk Kak, ini sudah lambat” suara Nina mengintruksi dari pikiran ku yang menebak-nebak sendiri dan dia menarik tanganku hingga keluar dari rumah lalu masuk di salah satu mobil yang terjejer di halaman.

Mama, Papa, suaminya Nina serta kurcaci Nina ada di dalam mobil ini. “Mama kita mau kemana?” tanyaku setelah duduk di samping Mama.

“Tidak usah banyak tanya. Kamu cuman perlu duduk diam” jawabnya sambil mengelus lembut tangan kanan ku.

Untuk pertama kalinya semuanya lengkap didalam mobil ini. entah apa yang membuat sih dua kurcaci itu saling berteriak ingin di pangku sama Kakeknya.

“Kakek jangan kakak, ade yah” raju Stella.

“Sana kamu sama Mama” Stevan menyelah dibarengi dengan uluran lidah tanda mengejek.

“Stella sama mama dulu yah kakek tidak bisa kalo dua-duanya” Ayah yang sudah geram mendengar ocehan cucunya saling merebut dirinya angkat suara “Nanti kalo pulang Stella lagi sama kakek” tambahnya dan semua orang yang di dalam ketawa melihat tingkat kedua kurcaci itu kecuali aku yang masih bingung dengan semua ini.

Tak berselang lama semua mobil yang berjumlah lebih dari lima itu berhenti di salah satu rumah. Rumah kompleks yang hampir mirip semua modelnya, kecuali bagian belakang yang diubah jadi lebih lebar dan bertingkat. Kini disulap dengan berbagai hiasan khas orang penganting.

“Ayo kak” ajaknya Ibu saat bersejajar didepan rumah khas penganting itu.

“Bu” raju ku dan ibu hanya melotot lagi dan lagi aku ciut.

“Firasat ku untuk pulang kayanya bukan untuk lamaran ajah melainkan ke jenjang serius” batin ku.

Tanpa berbicara Ibu mengajak ku masuk dan sambutan dari dalam pun tak jauh beda dengan antusia Ibu. Aku hanya bisa menebak-nebak siapa perempuan yang akan jadi istri ku.

Apakah Reta atau perempuan yang mana?

Rasa deg degan saat aku harus duduk dan di perinta menjabat tangan orang yang tak kutahu siapa. Kertas putih yang ternyata adalah sebuah tulisan yang tertera nama yang harus ku sebutkan.

Amreta Uratmi

Sebuah Trauma (Terbit) Tidak LengkapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang